Di sebuah halaman yang kubuka tanpa sengaja, kutemukan kalimat yang terasa lebih jujur dari berita pagi dan lebih dalam dari pidato panjang para pemimpin: “Ciri Negara Ideal (al-madinah al-fadhilah): masyarakatnya punya pengetahuan untuk bahagia dan praktik hidupnya juga membahagiakan.” Entah kenapa, kalimat itu menancap seperti jarum halus di dada. Rasanya seperti sedang ditegur oleh seseorang yang jauh lebih tahu cara menjadi manusia seutuhnya. Bukan tentang kecanggihan, bukan soal kekayaan, tapi tentang pengetahuan yang mampu membuat hidup jadi layak, lembut, dan penuh makna.
Aku duduk diam. Di luar hanya angin yang lewat malas, membelai dedaunan sejenak lalu pergi entah ke mana. Di dalam kepala, kalimat itu terus berputar seperti doa. Negara ideal, pikirku, mungkinkah itu tempat yang warganya tahu cara bersyukur dan tak gengsi untuk berbuat baik? Di tempat kita, pengetahuan sering dijunjung tinggi, tapi lupa digunakan untuk membahagiakan orang lain. Yang kita bangun bukan rumah-rumah bahagia, tapi menara-menara gelisah. Kita pandai membuat aturan, tapi sering abai menciptakan rasa aman.
Lalu aku sadar, mungkin negara ideal bukanlah utopia jauh di ujung peta. Ia bisa tumbuh di rumah-rumah kecil, di ruang-ruang kerja yang jujur, di hati orang-orang yang tidak pernah belajar filsafat tapi tahu caranya memanusiakan sesama. Buku ini tidak memberi jawaban, tapi menanamkan kegelisahan yang baik—kegelisahan yang bisa jadi awal perubahan. Kita tak perlu menunggu dunia berubah, cukup bertanya: sudahkah kita menjadi bagian dari kehidupan yang membahagiakan, atau justru sedang melupakan cara untuk hidup sebagai manusia?
Contohnya ada di jalan yang setiap hari kita lewati. Jalur sepeda yang dibangun dengan niat baik dan anggaran tidak sedikit, sering kali justru dipakai oleh mereka yang tidak bersepeda—pengendara motor yang melaju melawan arah, kadang tanpa helm, kadang dengan pandangan yang tak peduli. Kami yang bersepeda, yang mengikuti jalur dan aturan, justru merasa terancam di tempat yang seharusnya membuat kami aman. Di situ, aku melihat sendiri: pengetahuan tanpa penghayatan hanya akan melahirkan kebingungan yang membahayakan. Atau sebaiknya jalur sepeda itu dihapus saja? Bayangkan betapa luasnya Jalan Adi Sucipto jika itu dilakukan.