Balon Merah Muda


Hari itu, kantor yang biasanya penuh dengan aroma kopi instan dan suara rapat daring, tiba-tiba berubah jadi taman kanak-kanak. Balon warna-warni bertaburan, tawa anak-anak menggema, dan ruangan yang biasanya dipenuhi urusan pajak mendadak disulap jadi panggung kecil penuh kegembiraan. Inilah hari Family Day, hari di mana pekerjaan yang selama ini hanya jadi cerita dalam mobil atau sebelum tidur, kini benar-benar hadir di depan mata anak-anak kami.

Aku berdiri di sudut ruangan, tak jauh dari layar proyektor yang menampilkan daftar kelompok. Mataku terpaku pada sosok mungil di barisan depan. Iliana, anak perempuanku. Ia berdiri tegak, memeluk sebuah balon pink seolah itu harta karun paling penting di dunia. Di kepalanya melingkar pita putih bertuliskan namanya dengan spidol biru, tulisan tangan ibunya, agak miring, tapi penuh cinta.

Waktu seperti berhenti sesaat. Iliana menatap sekeliling dengan mata bulat penasaran. Dunia orang dewasa, pikirku, pasti membingungkan untuk anak seusianya. Namun hari ini, ia adalah tamu kehormatan. Hari ini, ia akan melihat seperti apa dunia yang sering membuat bapaknya pulang terlambat.

Seorang MC bersuara nyaring menyapa anak-anak, membagi mereka dalam kelompok-kelompok. Aku melihat Iliana mengangguk serius, meskipun tak sepenuhnya paham tugas kelompok itu apa. Di sampingnya ada anak-anak lain, sebagian lebih tua, mengenakan baju putih dan jeans, ada pula yang memakai gamis kecil dan kerudung. Mereka terlihat seperti sepasukan mini yang bersiap menjelajahi negeri angka dan laporan pajak.

Aku tak tahu pasti apakah ia akan mengerti ketika kuterangkan bahwa Bapam bekerja di kantor pajak. Bahwa pekerjaanku adalah tentang membantu orang-orang memahami kewajiban mereka kepada negara, bahwa aku bergulat tiap hari dengan formulir dan sistem yang kadang lebih keras kepala dari balita yang tak mau makan. Tapi mungkin tak perlu ia mengerti semua itu hari ini. Cukup jika ia tahu, bahwa di tempat inilah Bapak menghabiskan waktu, bukan karena tak ingin bersamanya, tapi karena ingin menjaganya.

Iliana menoleh padaku. Matanya bertemu mataku. Lalu, dengan sederhana dan penuh percaya, ia tersenyum. Senyum yang bisa meluluhkan lembaga keuangan. Aku merasakan tenggorokanku tercekat. Ah, Iliana… jika kelak kau besar dan membaca ini, ketahuilah: hari itu, saat kau memegang balon pinkmu dan berdiri penuh semangat, Bapak merasa bahwa semua angka, semua lembur, semua rapat, menjadi lebih berarti. Karena hari itu, kau hadir. Dan pekerjaan Bapak, mendadak terasa paling mulia di dunia.