Bediding


Sore ini, langit Solo menggigil dalam senja yang pelan. Di simpang Manahan, bayang pohon dan lampu kota beradu di aspal yang mulai dingin. Dalam sunyi yang jarang, terasa hangatnya kenangan, tentang pelukan, harum kayu bakar, dan suara ibu memanggil dari dapur.

Ini adalah Juli, musim bediding yang tidak tertulis di kalender, tapi melekat erat dalam tubuh dan ingatan. Udara sore menggigit pelan, menyelinap di sela jari, seolah ingin mengingatkan bahwa malam akan datang lebih cepat, dan lebih sunyi.

Orang-orang tua menyebutnya: “dingin yang membuatmu malas mandi.” Tapi di kota ini, bediding datang dalam bentuk lain, lewat angin yang berdesir pelan di tengah perempatan, ketika lampu merah menyala dan semua orang menunggu. Belum Flu? Menunggu giliran saja.

Di kejauhan, baliho dan kendaraan tak begitu penting. Yang terasa justru keheningan yang menelusup dari balik langit yang mulai redup. Dunia sejenak melambat.

Angin dari selatan, mungkin dari jauh, mungkin dari masa lalu, berbisik pada dedaunan dan jendela toko yang belum tutup: “Tenanglah, tak semua harus kau kejar hari ini.”

Di perempatan ini, kita belajar bahwa dingin tak selalu tentang kehilangan. Kadang ia adalah cara semesta memberi jeda. Bahwa diam pun bisa menjadi bentuk perhatian. Bahwa angin sore bisa menulis puisi di kulitmu sendiri.