Burung Hantu


Di bawah langit Solo yang cerah dan penuh kisah, di sepanjang jalan Slamet Riyadi yang mendadak bebas dari deru knalpot dan denting klakson, Iliana berdiri dengan senyum penuh keajaiban. Topi putih bertelinga capybara bertengger manis di kepalanya, dan di atas topi itu, sebuah pemandangan yang hanya mungkin terjadi di dunia dongeng, seekor burung hantu mungil memandang dunia dengan mata bulat dan penuh rahasia.

Iliana, dengan gaun biru bermotif bunga dan sepatu merah muda, seolah menjelma menjadi tokoh dalam buku. Dia tak tampak takut, tak juga terlalu kagum. Wajahnya memancarkan perasaan yang hanya bisa disebut satu hal: persahabatan.

Burung hantu itu, barangkali bernama Pilo, atau Bubu, atau mungkin ia belum diberi nama, tampak tenang di atas kepala Iliana. Seperti ia telah lama mengenalnya. Seperti ia tahu bahwa bocah kecil ini bukan sekadar manusia biasa, melainkan seorang penjaga rahasia hutan, penyambung lidah malam, atau bahkan pewaris takhta kerajaan yang telah lama hilang.

Di belakangnya, kehidupan berjalan biasa, motor diparkir sembarangan, plastik menumpuk, orang-orang lalu-lalang dengan urusan masing-masing. Tapi di tengah keramaian yang biasa itu, ada momen luar biasa: seorang anak kecil, seekor burung hantu, dan hari Minggu yang tak akan pernah terulang dengan cara yang sama.