Dolan Ngidul


Aku datang malam itu, bukan sebagai tamu penting, bukan pula sebagai siapa-siapa. Hanya seorang pejalan biasa yang mengikuti langkah-langkah kecilnya menuju tanah yang katanya tak pernah diam, Alun-Alun Kidul, Surakarta.

Langit Solo gelap, tapi bukan sunyi. Justru malam itu terang oleh nyala rasa: lentera-lentera kecil dalam dada orang-orang yang datang dengan hati terbuka. Di kejauhan, pepohonan besar berdiri diam namun gagah, menjadi saksi zaman yang berjalan tanpa pamit. Di bawahnya, manusia-manusia kecil seperti aku berkumpul, mencari arti pada jejak yang mereka buat malam itu.

Acara bernama “Dolan Ngidul”, dan aku, entah kenapa, merasa namaku ikut tercatat di sana. Sebuah tarian dimulai. Gerak-gerik penari itu bukan sekadar estetika, tapi seperti doa yang dikirimkan ke langit. Di sela tabuhan gamelan dan aroma jagung bakar, aku mendengar masa lalu memanggil, seperti ingin dikenang. Tradisi, katanya.

Lalu kuliner lokal datang tanpa diundang, seperti kenangan. Aku duduk di rerumputan, dan mendengarkan tawa orang-orang asing yang tak lagi terasa asing. Aku tidak sendiri, karena budaya ini menyentuh semua orang tanpa pilih-pilih.

Malam itu, aku tak ingin pulang. Karena rasanya seperti baru saja bertemu rumah yang lain. Bukan rumah berdinding bata, tapi rumah dari cerita dan langkah-langkah sederhana yang disatukan oleh cinta kepada tanah ini. Sungguh, di tanah ini seni tak pernah diam. Dan malam itu, aku tahu, aku berjalan bersama budaya, bukan sebagai penonton, tapi sebagai bagian kecil yang ikut menari dalam harmoni.