Di senja yang meluruhkan cahaya, pabrik gula Colomadu berdiri seperti puisi bisu yang ditulis oleh waktu. Dindingnya yang tua adalah lembar-lembar cerita, tak terucap tapi terasa. Ada sesuatu yang lirih dalam setiap bayangnya, seolah bangunan itu ingin berkata sesuatu, tentang kerja, tentang hidup, dan tentang imbuh.
Imbuh, dalam laku Jawa, bukan cuma tambahan. Ia bukan sekadar angka di ujung hitungan atau tenaga yang dicurahkan lebih lama dari semestinya. Imbuh adalah sejenis cinta yang diam-diam. Ia hadir dari hati yang tak berharap sorak, hanya ingin memberi, meski tak diminta. Di Colomadu, pada masa mesin-mesin itu masih mengaum dan uap panas mengambang di udara, para buruh mengerti apa itu imbuh, meski mereka tak pernah menyebutnya. Mereka datang sebelum matahari bangun, mereka pulang saat langit sudah rebah. Mereka tak mengeluh. Karena mereka tahu: ada kehormatan dalam memberi lebih, bahkan saat dunia tak menoleh.
Tapi imbuh bukan tanpa batas. Ia hidup dari ketulusan. Bila dipaksa, ia menjadi luka. Bila dimanfaatkan, ia menjadi perbudakan yang dibungkus kebajikan. Maka, seperti malam yang tahu kapan harus datang setelah senja, kita pun harus tahu kapan imbuh harus berhenti. Saat tubuh tak lagi kuat, saat jiwa mulai kering, saat kita lupa bahwa kita juga punya hidup sendiri. Karena bahkan lampu-lampu kecil yang berkelap di taman depan Colomadu itu pun, tahu kapan harus padam, agar bisa bersinar lagi esok hari.
Di hadapan bangunan tua ini, matahari turun perlahan. Dan seperti itulah imbuh seharusnya: tenang, tak memaksa, tapi selalu memberi hangat, meski cuma sebentar. Kita tak butuh panggung untuk menjadi berguna. Kadang, cukup menjadi seperti senja, tak pernah meminta apa-apa, tapi selalu ditunggu.