Kantor yang Mulai Sepi


Hari ini aku belajar satu hal yang tak pernah diajarkan di pelatihan jarak jauh, tidak juga di SOP manapun, dan bahkan tidak bisa kutemukan di modul e-learning yang selalu terlalu serius itu. Aku belajar bahwa perpisahan tidak pernah benar-benar selesai dengan ucapan selamat jalan. Ia tidak bisa terbungkus rapi dalam rangkaian kata manis yang biasanya kita kirim lewat WhatsApp grup kantor, lengkap dengan emotikon peluk dan bunga.

Perpisahan itu tinggal. Ia menetap seperti udara lembab yang enggan pergi dari ruang kerja. Ia berdiam di meja-meja yang mulai sepi, di kursi-kursi yang tidak lagi ditarik pagi-pagi. Ia bersembunyi di antara suara-suara yang tiba-tiba hilang dari udara, seperti kebiasaan lama yang lenyap tanpa pamit.

Bu Astri pindah ke KPP Jombang. Perempuan tangguh yang selalu terlihat bersemangat. Di kepalaku masih berputar-putar ceritanya tentang Kalimantan Timur, tentang Balikpapan, tentang langit sore di Samarinda yang katanya selalu bersedih, dan tentang rindu yang tak pernah habis. Aneh sekali, setiap kali ia mengulang cerita itu, rasanya tetap seperti pertama kali dan tetap menarik.

Mas Richo ke Bandung. Ia selalu muncul tiba-tiba di belakangku, entah bagaimana caranya. Ia datang dan membuat dunia tak lagi terasa begitu serius. Kini kami mungkin hanya akan bertemu setahun sekali, saat Idulfitri, kumpul keluarga besar. Padahal dulu, kehadirannya begitu tiba-tiba, begitu hidup, sehari - hari.

Pak Sriono ke Kanwil Jateng I. Beliau jangkar moral di tengah gelombang birokrasi yang kadang terlalu rumit dan membingungkan, bapak ideologisku. Beliau adalah peta ketika aku kehilangan arah, kompas ketika aku ragu pada nilai-nilai yang harus kujaga. Kini, aku sedang belajar berjalan sendiri. Aku belum yakin bisa, tapi kupikir, beliau pasti ingin aku mencoba, dan ingin aku mandiri.

Pak Winarno ke Banjarmasin, kota seribu wadai. Kupikir, itu julukan yang cocok untuk kota itu, bukan hanya seribu sungai, beliau selalu menemukan sisi manis dari segala hal. Aku harap beliau menemukan klapertar yang lebih enak dari klapertar buatanku di sana. Kalau ia akhirnya menemukannya, semoga beliau tak lupa memberitahuku, agar aku bisa iri dan mencoba membuat versi yang lebih baik disini, di Surakarta.

Mbak Wieka ke KPP Salatiga. Minggu lalu, ia membacakan puisi untuk Pak Timon yang pindah tugas. Minggu ini, aku tidak membacakan puisi untuknya, tapi berusaha bernyanyi lagu Judika ketika flu sedang sangat menyebalkan. Dan aku berdoa, semoga minggu depan tidak ada puisi lagi. Karena di kantor ini, puisi sering datang bersamaan dengan kepergian. Dan aku mulai takut pada keindahan yang menyakitkan itu.

Mas Surono ke KPP Batulicin. Ia adalah manusia yang membuat hal tersulit menjadi terasa seperti anak-anak yang sedang bermain di lapangan dengan bola plastik seadanya dan gawang dari sandal japit. Wajib pajak suka padanya karena ia jujur, sederhana, dan apa adanya. Aku juga suka gayanya menyampaikan sesuatu, khas. Dan aku tahu, aku akan merindukannya. Kadang aku merasa, orang-orang seperti Mas Surono seharusnya tidak pernah berpindah tempat. Tapi hidup tidak bisa berjalan begitu.

Kantor ini masih sama: lantainya masih licin bersih dan sore tadi hampir membuatku terpeleset saking bersihnya, dindingnya masih sejuk dengan hiasan piagam dan kutipan. Tapi ia tidak lagi serupa. Beberapa nama sudah berpindah tempat. Beberapa ruang sedang belajar diam-diam menjadi ruang kosong. Suara mereka, tawa mereka, cara mereka menyebut nama, semuanya mulai mengendap menjadi gema.

Dan aku, seperti biasa, hanya bisa mencatat yang tertinggal. Menyulam serpihan-serpihan harian agar tidak sepenuhnya hilang. Karena aku percaya, kenangan perlu tahu ke mana harus pulang, yaitu Manahan.

Kadang aku menatap foto begitu lama, hingga yang kulihat bukan lagi senyum, melainkan kenangan yang perlahan-lahan menjauh seperti kapal kecil di Tanjung Perak. Aku menangis, bukan karena aku melupakan, tapi karena setiap senyum di jauh sana mengingatkan pada hari-hari yang tak akan pernah kembali. Dan pada diriku sendiri yang masih diam-diam berharap bahwa waktu bisa diputar ulang, seperti lembar laporan yang salah cetak dan bisa diganti sebelum dikirim ke pimpinan.

Surakarta, ini kota yang berat untuk ditinggalkan. Bukan hanya karena malam di Ngarsopuro atau suara gamelan dari pendapa kantor walikota. Tapi karena kota ini diam-diam telah menjadi rumah dari begitu banyak hal yang tak bisa dijelaskan oleh angka NIP di SK mutasi. Kota ini telah menyimpan terlalu banyak tawa, terlalu banyak senyap, dan terlalu banyak percakapan sore yang tak terekam dalam berita acara. Bagaimana mungkin bisa seseorang pergi dan tidak merasa kehilangan? Mustahil.

Kini, aku hanya duduk di pojok ruang yang dulu ramai, menggenggam aroma kopi sachet yang tinggal seperempat, dan berdoa agar semua yang pergi, semua yang berpindah, semua yang meninggalkan jejak, menemukan yang mereka cari. Dan semoga kelak, saat bertemu lagi, entah di Jombang, Bandung, Banjarmasin, Batulicin atau Salatiga, masih bisa tertawa tentang hari-hari di kantor yang pernah kita cintai, dan perlahan kita tinggalkan, satu per satu, perlahan - lahan. Tapi bagaimanapun, es teh hangat selalu menanti.