Pagi menjelang siang di Sukoharjo. Langit mengambang seperti kertas yang belum ditulisi puisi. Di bawahnya, Telaga Pakujoyo terhampar tenang, airnya hijau zaitun, seakan menyimpan kenangan yang tak pernah benar-benar mengering. Di tepian, beberapa rumah dengan atap genteng tua berdiri bersahaja, tak berusaha mencuri perhatian, hanya menjadi latar bagi hidup yang berjalan pelan.
Aku menaiki sebuah kapal bebek, warna biru dengan pedal kecil di dalamnya, bentuknya seperti mainan raksasa yang tersesat dari dunia anak-anak. Aku mengayuh, pelan-pelan, seperti seseorang yang sedang membaca puisi sambil berjalan. Kapal itu mendorong tubuhnya ke tengah telaga, menyisakan riak-riak bundar yang memantul ke segala arah.
Angin datang dari arah barat, membawa aroma lumpur dan dedaunan basah. Di sebelah kiri, sekelompok angsa dan bebek sungguhan berenang beriringan. Mereka tak terganggu oleh kehadiran bebek tiruan yang kukendarai, mereka menerimaku sebagai bagian dari lanskap, bukan gangguan. Mereka tahu, aku datang bukan untuk berisik, tapi untuk mengingat.
Telaga ini bukan tempat wisata besar. Tidak ada tiket elektronik, tidak ada kafe dengan lampu neon. Tapi justru karena itulah ia memikat. Segalanya sederhana, seolah diciptakan hanya untuk satu tujuan: membuat orang diam dan merenung, lalu pulang dengan hati yang sedikit lebih ringan.
Di seberang, huruf-huruf besar bertuliskan “Telaga Pakujoyo” berdiri tegak, menciptakan bayangan tak sempurna di permukaan air. Aku melihat pantulannya bergoyang-goyang setiap kali angin lewat. Nama itu seperti pelengkap puisi yang sedang kubaca dalam diam.
Aku mengayuh lebih pelan. Di setiap kayuhan, ada kenangan masa kecil yang mengapung. Waktu-waktu saat aku juga pernah bermain di telaga, mungkin bukan di sini, tapi di tempat yang serupa. Tempat yang tidak mengharuskan siapa pun untuk menjadi siapa-siapa.
Di tengah telaga, aku berhenti mengayuh. Bukan karena lelah, tapi karena merasa cukup. Diam di sana, dikelilingi air dan langit yang malu-malu cerah, aku merasa menjadi bagian dari sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan logika. Kapal bebekku diam, tapi hatiku bergerak. Dan entah kenapa, di tengah keheningan itu, aku merasa… seolah dunia memelukku perlahan.