Kauman Lagi


Di sebuah gang kecil yang bernama Kampoeng Batik, yang lebih mirip lorong waktu ketimbang jalan modern, langit tak lagi biru begitu saja. Ia berubah warna oleh parade payung yang menggantung, berwarna merah, kuning, biru, dan hijau, seperti ide-ide yang beterbangan dari kepala penyair. Tak ada yang tahu siapa pertama kali menggantungkan payung di langit, mungkin seorang pemimpi yang ingin menutupi panas matahari dengan imajinasi.

Iliana berjalan pelan. Usianya baru sebentar, namun langkahnya punya suara sendiri. Bukan suara sepatu yang menapak batu, melainkan suara hati yang belum diusik dunia. Ia mengenakan topi beruang dan sepatu merah muda, seperti siap masuk ke dalam dongeng, namun tetap realistis, seperti anak yang tahu bahwa kue ulang tahun harus dipesan dulu. Ia menatap ke depan, bukan ke atas, karena Iliana tahu: langit memang indah, tapi arah hidup selalu di tanah.

Orang-orang berlalu-lalang, ada yang menoleh, ada yang sibuk dengan ponselnya, ada pula yang diam seperti batu nisan dalam sejarah kecil ini. Tapi Iliana tidak peduli. Ia bukan tokoh utama karena ingin menjadi pusat perhatian, melainkan karena ia tak pernah memintanya. Dunia hanya menyadari: ia berjalan, dan dunia pun mengikuti diam-diam. Di belakangnya, papan bertuliskan “Kampoeng Batik” tergantung, seperti tanda bahwa segala sesuatu punya asal. Tapi Iliana belum mengenal kata “tradisi” ataupun “identitas budaya”. Ia hanya tahu: di sini warna-warni itu nyata, dan jalan kecil ini cukup luas untuk mimpinya berjalan.

Kadang-kadang, kita lupa bahwa kehidupan adalah potret yang diambil ketika kita tidak sedang bergaya. Tapi Iliana mengingatkan: menjadi apa adanya lebih fotogenik daripada menjadi siapa-siapa. Dan langit pun tetap memayungi, seperti ibu yang tak pernah tidur, menatap dari jauh dengan diam yang penuh makna.