Di dunia yang berisik dengan ambisi dan kecemasan, aku belajar satu hal kecil yang mengubah caraku memandang malam: bahwa bahagia bukan soal punya segalanya, tapi tentang bersyukur atas yang ada di genggaman. Seperti segelas kopi susu karamel yang kubuat ini.
Tak ada yang istimewa. Gelas biasa. Tembok kosong. Aku tidak duduk di balkon dengan pemandangan gunung atau pantai. Tapi entah kenapa, malam ini terasa lengkap. Seperti hidup memberi pelukan hangat lewat uap kopi yang pelan-pelan naik ke wajahku.
Ada rasa manis dari karamel, ada getir kopi, ada lembutnya susu, dan semuanya berpadu dalam diam. Seperti hidupku yang tak selalu manis, tapi juga tak pernah benar-benar pahit. Mungkin ini yang namanya cukup.
Kupandangi cairan cokelat muda dalam gelas. Warnanya seperti senja yang tumpah di ujung hari, tenang, tidak mewah, tapi jujur. Aku tidak lagi berharap hari esok sempurna. Aku hanya ingin bisa berkata dalam hati: “Terima kasih, Tuhan, aku masih bisa merasa hangat.”
Orang-orang mencari bahagia ke tempat tinggi dan jauh. Aku pun dulu begitu. Tapi sekarang aku tahu: bahagia ternyata tinggal di satu tempat yang selama ini sering kulupakan, di hati yang bersyukur.
Aku menyesap kopi itu pelan-pelan. Bukan untuk merasakan rasanya saja, tapi untuk mengingat bahwa aku masih di sini. Masih bisa membuat sesuatu dengan tanganku sendiri. Masih punya pagi. Masih punya waktu untuk bersyukur. Dan saat itu juga, aku tahu, meski dunia belum sempurna, hatiku sudah damai.