Sore ini, langit menggantung kelabu seperti pikiran yang berarak dalam kepalaku. Aku mengayuh sepeda perlahan, melewati lampu merah yang menggantung di atas jalan, menyala tegas seperti perintah dari alam semesta: berhenti. Tapi berhenti itu justru menjadi kemewahan yang tak bisa kubeli hari ini.
Seharian penuh aku tenggelam dalam pekerjaan, seperti ikan terperangkap dalam jaring yang tak kelihatan, rapat, deadline, angka-angka yang tak punya rasa, mendesak, dan tanpa jeda. Dunia seolah berlari dengan kaki seribu, sementara aku hanya punya dua kaki dan sepedaku yang setia tapi lelah.
Lampu merah itu, kawan, menjadi pelindung kecilku di tengah kekacauan. Di bawah sinarnya, aku terdiam sejenak. Jalanan kota yang ramai mulai tenang, dan langit sore yang biru keabu-abuan seperti lukisan murung itu seakan berbisik, “Kau tak sendiri.”
Aku menarik napas panjang. Udara sore mengandung sedikit aroma hujan yang belum jatuh. Barangkali langit pun sedang menahan tangisnya. Aku tersenyum kecil. Di tengah segala tekanan dan tuntutan, sepedaku ini mengajarkan satu hal sederhana: bergeraklah pelan, tapi teruslah bergerak.
Dunia memang bergerak cepat, kadang terlalu cepat. Tapi siapa bilang kita harus ikut lari bersamanya? Barangkali, sesekali kita memang perlu menjadi seperti lampu merah itu, menghentikan semuanya, memberi ruang untuk bernapas, untuk melihat sekitar, dan mengatakan pada diri sendiri, “Istirahat juga penting.” Sore ini aku pulang bukan hanya membawa tubuh yang letih, tapi juga hati yang sedikit lebih lapang.