Malioboro Lagi


Sore itu, lampu jalan menyala lebih cepat dari biasanya. Seakan tahu bahwa langit Jogja sedang malas menunggu malam. Di bawah tiang besi hijau yang berukir, dua lampu menggantung seperti sepasang mata tua yang tak pernah benar-benar tidur. Di sinilah segalanya menyala, bahkan ketika cahaya mulai lelah.

Jalan Malioboro bukan jalan biasa; ia adalah perasaan yang tak bisa difoto dengan sempurna. Orang-orang berjalan bukan karena ingin ke suatu tempat, tapi karena tak ingin diam. Mereka datang dengan langkah masing-masing: turis yang ingin menemukan “roh” Jogja, pedagang kaki lima yang menggantungkan hidup pada laku satu-dua kaos oblong, dan tukang andong yang wajahnya sudah lebih akrab dari sejarah.

Seorang pria berbaju hitam menunjuk sesuatu ke arah yang entah, mungkin warung, mungkin kenangan. Di sebelahnya, lelaki tua bersongkok merah berdiri diam. Barangkali sedang berpikir tentang masa lalu, atau mungkin tidak berpikir sama sekali, karena di Malioboro, kadang cukup hanya ada. Di atas mereka, langit senja berwarna biru pucat. Seolah lukisan yang belum selesai, dibiarkan terbuka begitu saja agar awan bisa menulis puisinya sendiri. Burung-burung tak terlihat, tapi kota ini tetap berkicau, dalam bahasa klakson, derap kaki, dan denting logam dari becak yang bersenggolan dengan waktu.

Gedung-gedung baru menjulang, seperti ingin mengingatkan bahwa bahkan Jogja pun bisa berubah. Tapi lampu-lampu itu tetap tua. Dan tetap menyala. Karena kota yang benar-benar tua bukan yang usang, melainkan yang tak pernah selesai dibaca.