Senja jatuh pelan di Stadion Manahan, mewarnai langit dengan gradasi biru keemasan seperti lukisan yang terlalu jujur. Patung di tengah lingkaran itu berdiri gagah, tangan terangkat ke langit seolah hendak menggenggam sisa cahaya hari. Di sekitarnya, pohon-pohon diam, dan lampu mulai menyala satu per satu seperti bintang yang tak sabar menunggu malam.
Aku duduk di pinggir trotoar, membiarkan waktu berlalu tanpa tergesa. Orang-orang berlalu, tapi di antara langkah-langkah itu, aku menemukan jeda yang tak bisa dibeli. Ada keheningan yang tidak sunyi, ia seperti napas, perlahan tapi terus ada.
Menatap patung itu, aku tak butuh alasan untuk tetap tinggal. Langit berubah, tapi rasanya justru di situlah letak ketenangan: pada hal-hal yang berganti tapi tetap indah.