Aku duduk di bangku yang dingin, menatap pintu itu seperti menatap teka-teki. “Ruang Pemeriksaan,” tulisnya di papan kecil yang tergantung rapuh. Aku menunggu namaku dipanggil, tapi rasanya sudah sepuluh kali detak jam dinding berputar tanpa satu pun suara dari balik pintu itu.
Satu-satunya suara datang dari dalam diriku, detak jantung yang tak mau diajak kompromi, dan pikiran yang seperti menari-nari dengan kemungkinan. Padahal bisa jadi ini cuma batuk biasa. Bisa jadi cuma kelelahan. Tapi entah kenapa, ketika harus berhadapan dengan ruangan seperti ini, imajinasi jadi liar dan berisik.
Ada selembar kertas putih tergantung di pintu, kosong, hanya diam menatap siapa pun yang mencoba menebak apa yang terjadi di dalam. Di bawahnya, poster peringatan: dilarang merokok, dilarang makan dan minum, dilarang membawa anak kecil. Lucu, aku malah membawa ketakutan, dan itu yang paling ribut di antara semuanya.
Di sebelahku, hand sanitizer menempel di dinding seperti teman lama yang selalu menunggu disentuh. Tanganku sudah lima kali memencetnya, bukan karena kotor, tapi karena gugup. Pegangan besi di dinding pun tampak lebih siap daripada aku. Ia kokoh dan pasti, sementara aku duduk di sini seperti daun yang lupa angin dari mana membawanya.
Di sekeliling, poster-poster kesehatan menasihati tanpa suara, tentang pola makan, imunisasi, pencegahan. Mereka tak tahu, kadang yang paling melelahkan adalah menunggu. Bukan hasil pemeriksaan, bukan penyakitnya, tapi jeda panjang sebelum tahu: aku ini baik-baik saja atau tidak.
Aku menghela napas, dan mencoba menenangkan diri. Lalu kudengar suara pintu berderit pelan dari dalam. Seseorang keluar. Aku menegakkan punggung. Jantungku berdetak lebih cepat. Namaku dipanggil. Dan saat aku berdiri, aku tahu: pintu itu mungkin tak memberi jawaban, tapi ia akan menghentikan tanya-tanya yang tak bisa kuatasi sendiri. Sekarang giliranku.