Di dalam sebuah mangkuk merah berbingkai hitam, terhidang semangkuk mi instan yang tampak begitu menggoda. Mi itu tampak basah oleh kuah yang sedikit mengental, menyisakan jejak warna merah keemasan dari bumbu pedas yang telah meresap ke setiap helai mi. Potongan telur orak-arik berserakan di antara mi, kuningnya menyatu dengan gurihnya kuah, seakan menjadi pelengkap takdir yang sederhana namun sempurna.
Di sela-sela gulungan mi, tampak daun hijau, mungkin sawi, yang sudah layu oleh panas, namun tetap menambah warna dan kesegaran. Di atas semuanya, bertabur bawang goreng yang renyah, cokelat keemasan, mengeluarkan aroma yang tak terlihat namun hampir bisa dirasakan hanya dengan memandangnya. Mi ini bukan makanan mewah, tapi kehadirannya begitu jujur, begitu akrab, seperti pelukan diam-diam dari masa kecil.
Mangkuk itu diletakkan di atas meja kayu yang sederhana. Di sekitarnya, samar terlihat mangkuk-mangkuk serupa, pertanda kebersamaan yang tak terucap. Tak ada peralatan makan mewah, tak ada dekorasi berlebihan. Hanya semangkuk mi hangat, yang seolah sedang menunggu seseorang untuk duduk dan menyantapnya, sambil mengobrol tentang hari yang biasa-biasa saja, dengan rasa yang luar biasa.