Namanya Iliana


Namanya Iliana, satu-satunya semesta kecil yang bisa membuat dunia terasa lebih hangat meski sedang hujan deras di luar. Aku memerhatikannya dari sudut ruangan, saat ia berguling di atas sofa merah yang sudah mulai pudar warnanya, persis seperti masa kecil yang tak pernah bisa kita tangkap. Lihatlah dia, dengan piyama bergambar singa, kakinya menggantung sembarangan di udara, dan mulut kecilnya sibuk dengan jari yang setia menjadi teman khayalnya. Seperti tak ada gravitasi yang mampu menahannya, ia menari di atas logika, menantang aturan keseimbangan dengan tawa yang belum sempat dilepaskan.

Aku teringat pada masa kecilku sendiri, saat dunia belum meminta kita untuk serius, saat kita bebas menciptakan dunia dari kusen pintu dan bantal sofa. Iliana, tanpa sadar, mengajarkanku kembali tentang keajaiban menjadi kecil, tentang seni menolak diam, dan tentang bagaimana hidup bisa tetap lucu meski kepala kita sudah terbalik. Ada puisi di setiap gerakannya, puisi yang tak pernah kutulis, hanya bisa kurasakan dalam dada yang hangat oleh rasa sayang yang mendalam.

Dalam kebisingan dunia orang dewasa yang penuh perhitungan dan agenda, Iliana seperti nyanyian sunyi yang menyelinap masuk ke hatiku. Aku ingin mengabadikan detik ini, saat ia masih bisa tidur terbalik dan bermimpi tentang bintang-bintang yang bisa dia petik dari langit-langit rumah. Dan aku? Aku hanya ingin jadi saksi, seorang bapak yang diam-diam bersyukur karena hidup memberinya sebuah keajaiban kecil bernama Iliana.