Punggung yang Membisu


Malam ini, embun turun ragu-ragu. Seperti langit sedang bersidang dengan dirinya sendiri: apakah air mata ini pantas tumpah atau tidak. Di dalam ruangan berlampu pucat itu, seorang lelaki duduk sendiri, punggungnya lurus seperti garis takdir yang sudah ditentukan sejak lama. Rambutnya tersisir rapi, seperti ingin menghormati sesuatu yang agung, mungkin keadilan, mungkin kenangan.

Di hadapannya, lambang negara menatapnya dari dinding, Garuda Pancasila yang perkasa. Tapi dari belakang lelaki itu, Garuda tampak seperti sedang menunduk, ikut merenung. Barangkali Garuda pun lelah, barangkali ia juga ingin bertanya: sejak kapan keadilan berubah menjadi sebuah pertunjukan sunyi?

Lelaki itu diam. Ia tidak menoleh, tidak bersuara. Tapi dari kerutan di bajunya yang disetrika dengan cinta, dari rambut yang disisir dengan tangan yang gemetar, kita tahu: ia membawa sesuatu lebih berat dari sekadar tubuh. Ia membawa waktu. Ia membawa kebenaran yang sering kalah oleh suara paling keras di ruangan itu.

Dan kita? Kita hanya penonton. Melihat dari balik kaca mata kamera, berharap ada narasi indah yang bisa dituliskan dari luka. Seperti menulis tentang anak kecil yang tak pernah kembali ke sekolah, kita pun tahu: tak semua kisah berakhir manis. Tapi setidaknya, ada seseorang yang duduk tegak, menghadapi dunia yang tak selalu adil, dengan punggung yang membisu, tapi bermakna.