Sore itu, aku pulang kerja dengan sepeda yang setia menemani hari-hariku. Langit di atas kepala, seperti lukisan Tuhan yang lupa dibingkai. Warnanya biru pudar di atas, lalu perlahan menyaru ke kuning pucat, seperti pelangi yang hanya bisa dilihat oleh hati yang lelah tapi bahagia.
Aku menoleh ke langit, dan entah kenapa, ada damai yang turun perlahan-lahan, seperti embun yang tidak terburu-buru menyapa daun. Langit itu… ah, langit itu mengingatkanku pada halaman rumah masa kecilku. Waktu itu aku suka menebak-nebak bentuk awan, kadang jadi kapal layar, kadang jadi wajah yang serius.
Sore ini, langitnya tak berawan. Hanya bentangan warna yang terasa seperti lagu lama yang tak pernah selesai didengar. Dan di tengah bentangan itu, kulihat sebuah titik kecil, bulan sabit yang malu-malu muncul sebelum waktunya. Di sebelahnya, entah itu bintang atau pesawat, tapi bagiku itu adalah tanda kecil bahwa semesta diam-diam memperhatikan kita yang sedang lelah tapi tidak ingin menyerah.
Aku mengayuh perlahan. Udara sore menyusup ke sela-sela bajuku yang sudah basah oleh keringat. Tapi entah kenapa, aku merasa segar. Rasanya seperti… hidup tidak selalu harus terburu-buru. Kadang cukup dengan melihat langit, dan mengizinkan diri sendiri merasa cukup.
Di sore itu, aku pulang. Tapi hatiku belum ingin sampai. Ia masih ingin tinggal sebentar di bawah langit yang seperti surat cinta Tuhan yang dikirim diam-diam lewat cahaya senja. Dan aku membalasnya, diam-diam, dengan senyum kecil yang tak dilihat siapa-siapa.