Solo Keroncong Festival 2025


Di bawah langit malam yang tenang, Solo menjelma menjadi puisi yang hidup. Cahaya sorot menari ke angkasa, sementara di panggung megah, keroncong mengalun seperti doa yang dilantunkan nenek moyang. Inilah Solo Keroncong Festival 2025, ketika suara cak dan cuk berpadu mesra dengan biola yang lirih, menembus hati penonton yang diam-diam meneteskan air mata. Mereka bukan menangis karena sedih, melainkan karena rindu, rindu pada tanah air, pada masa kecil, pada ibu yang menyenandungkan Nina Bobo di beranda rumah tua.

Bangku-bangku dipenuhi manusia dari berbagai penjuru, duduk dalam sunyi. Seorang bapak tua memeluk lututnya, remaja-remaja menggenggam ponsel tapi tak sempat membuka kamera, terlalu khusyuk menikmati setiap notasi yang jatuh seperti gerimis di musim kemarau. Di layar besar terpampang wajah-wajah seniman, dengan tulisan tegas: “Solo Keroncong Festival 2025”. Tapi tak ada yang lebih tegas dari rasa bangga yang menyeruak dalam dada, bangga akan musik warisan, yang tak lekang, tak luntur, tak lupa.

Dan di atas mereka semua, dedaunan hijau tua melambai pelan seperti ikut menyanyikan lagu keroncong yang abadi. Barangkali, malam itu mereka pun ikut menari, karena mereka tahu: Solo bukan sekadar kota. Ia adalah nada-nada yang sabar menunggu didengar. Andrea Hirata mungkin akan menulis, “Di festival ini, keroncong bukan musik tua , ia adalah suara hati yang paling muda.”