Solo Last Friday Ride


Malam ini aku ikut Solo Last Friday Ride. Untuk pertama kalinya. Aku datang lebih awal. Sepedaku kutuntun pelan-pelan menuju barisan kendaraan tak bermesin yang diam namun tampak bertenaga. Di bawah lampu taman yang sendu, orang-orang berkumpul. Mereka bercakap, tertawa, menyetel lampu sepeda, memasang helm. Satu dua anak muda duduk di sadel sambil memainkan ponsel. Suasana tenang, tapi aku bisa merasakan degupnya. Seperti hati yang bersiap menyambut sesuatu yang besar, meski tak tahu apa.

Lalu kami bergerak. Berpuluh-puluh sepeda mengalir di jalan kota. Di depan, toko-toko berjajar dengan lampu terang dan papan reklame yang menyala seperti bintang buatan. Kami melaju perlahan di antara mobil dan motor. Orang-orang mengenakan kaus hitam, celana pendek, topi, helm, semuanya serba kasual, tapi ada semangat yang tidak kasual dalam sorot mata mereka.

Aku berada di tengah-tengah rombongan, dikelilingi kayuhan dari segala arah. Ban sepeda menggelinding seperti harmoni. Suara rantai, derak rem, dan obrolan kecil menjadi latar musik kami. Kami menyusuri gang, melewati warung, tembok panjang, dan rumah-rumah yang mulai meredup lampunya. Di sisi kanan, pohon pisang bergoyang ditiup angin. Jalanan sempit, tapi kami tetap melaju, beriringan seperti keluarga jauh yang baru saja bertemu.

Lalu kami sampai di sebuah perlintasan kereta. Kami berhenti. Ratusan sepeda, ratusan orang. Lampu sepeda menyala seperti kunang-kunang. Di kejauhan, suara kereta mendekat. Tapi semua diam. Tidak ada yang terburu-buru. Tak seorang pun mengeluh. Kami berdiri bersama, menunggu palang terangkat, seakan itulah momen yang ditunggu-tunggu: diam bersama dalam gemuruh kota.

Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan. Kali ini melewati pusat kota yang lebih ramai. Di depan, billboard besar bergambar wali kota dan slogan pariwisata. Orang-orang tertawa, menunjuk ke sana kemari, memotret, sesekali melambaikan tangan ke pengendara lain yang kebingungan melihat lautan sepeda memenuhi jalan.

Aku berada di tengah keramaian yang begitu hidup. Semua wajah bersinar, entah karena lampu atau kebahagiaan. Di sekelilingku, anak-anak muda, bapak-bapak, juga beberapa ibu-ibu yang menyamar jadi muda. Kami menembus malam, dan aku tahu: aku tidak hanya mengayuh sepeda, aku sedang menyusuri ingatan yang akan lama tinggal.