Teh Tarik Sutra


Malam itu di Joglo Pleret, angin semilir membawa aroma teh dan dedaunan basah, seperti bisikan masa kecil yang tak pernah benar-benar hilang. Di antara rimbun daun pisang dan pohon palem yang menjulang, Iliana duduk di atas kuda goyang berbentuk gajah abu-abu. Ia tidak tahu, mungkin belum bisa tahu, bahwa wajah seriusnya saat menggenggam erat pegangan kayu itu adalah gambaran kecil dari tekad yang kelak akan membuatnya berani berjalan sendiri di dunia yang luas ini. Aku hanya bisa berdiri di balik kamera, memotret diam-diam, menyimpan sepotong waktu yang entah kapan bisa terulang.

Joglo Pleret bukan sekadar tempat minum teh. Di sana ada Teh Tarik Sutra, warung kecil yang menyajikan teh tarik hangat dengan buih lembut dan dimsum yang rasanya seperti pelukan ibu, lembut, hangat, dan membuatmu ingin lebih. Iliana menyukai teh tariknya, ia bisa menghabiskan satu gelas penih. Dia menyeruput sedikit demi sedikit, menatapku, lalu kembali ke mainannya, seolah dunia ini hanya perlu dua hal: rasa nyaman dan kebebasan kecil untuk bermain.

Melihatnya bermain di antara hijaunya taman dan cahaya lampu lembut yang jatuh seperti serpihan puisi, aku teringat cerita-cerita yang belum sempat kutulis. Mungkin karena aku terlalu sibuk bekerja, atau mungkin karena aku takut. Tapi Iliana, dengan bajunya yang kuning cerah dan langkah kecil tanpa alas kaki, mengajarkanku bahwa kebahagiaan bisa sesederhana itu: seekor gajah kayu, segelas teh tarik, dan tawa kecil di bawah langit Pleret yang perlahan gelap.