Tjolomadoe Lagi


Hari itu langit seperti kanvas Van Gogh, jingga dan biru menyatu tanpa malu-malu. Angin menyisir pelipis seperti sentuhan seorang ibu yang tak tergesa. Aku mengayuh sepedaku. Perjalanan hari ini tak biasa. 25 kilometer kuayuh bukan untuk mengejar siapa-siapa, tapi untuk mengejar kenangan yang belum sempat lahir. Strava mencatat waktuku: 1 jam 20 menit, dengan 5,44 kg karbon yang terselamatkan. Angka itu mungkin tak seberapa, tapi bagiku, itu seperti menanam satu pohon di dalam dada sendiri.

Tiba di depan bangunan megah yang kini bernama De Tjolomadoe, aku tertegun. Seperti anak kecil di depan toko mainan. Gedung ini berdiri kokoh, dengan jendela-jendela tinggi dan cerobong menjulang seperti menara cerita rakyat. Tapi ini bukan dongeng. Ini nyata. Ini sejarah yang dihidupkan kembali.

Aku duduk di rerumputan kering yang masih menyimpan kehangatan siang. Di depanku, museum bekas pabrik gula itu bernafas dalam senyap. Dahulu ia melahirkan manis yang dikirim ke negeri-negeri jauh, kini ia menyimpan manis yang tinggal di dada siapa pun yang datang sore-sore begini. Anak-anak berlari, remaja berswafoto, dan aku, aku cuma duduk menatap langit, merasa kecil di antara kisah-kisah besar yang pernah terjadi di dalam tembok putih itu.

Mungkin sepeda yang membawaku ke sini, tapi hatiku yang memilih untuk tinggal. Di tempat ini, di sore ini, aku merasa seperti tokoh dalam novel yang belum ditulis. Angin membawa bau gula yang entah nyata atau sekadar ilusi, dan aku tertawa sendiri.

Aku bukan siapa-siapa, cuma pengayuh sepeda yang mencari damai. Tapi De Tjolomadoe memberiku lebih dari itu: ia memberiku waktu yang melambat, senja yang menggambar langit, dan rasa syukur yang tak bisa dihitung dengan kilometer. Hari itu, aku pulang membawa dua hal: foto bangunan tua yang berdiri gagah, dan kenangan baru yang rasanya… manis, seperti gula dari masa lalu.