Tjolomadoe


Sore itu, langit seperti kain kusam yang dilukis tangan Tuhan dengan semburat jingga. Sepi tapi hangat. Aku mengayuh sepedaku, yang rodanya sudah mengenal ritme detak jantungku. Jalanan tidak ramai, hanya beberapa suara burung dan langkah-langkah hari yang pulang lebih dulu dariku.

Tujuanku: De Tjolomadoe. Bangunan tua bekas pabrik gula, yang kini berdiri anggun dengan luka sejarah di dindingnya. Di pelatarannya, ada kendaraan militer tempo dulu. Diam, kokoh, seperti sedang menjaga sisa-sisa masa yang tak bisa diulang. Di sanalah aku berhenti. Bukan karena lelah, tapi karena ingin.

Aku ingin mengabadikan momen itu. Tapi tak ada siapa-siapa untuk kuminta tolong. Maka kulirik kran air di pinggir bangunan. Tingginya pas. Kukeluarkan ponsel dari tas, kusejajarkan, kuatur sudut, lalu kupasang timer. Sepuluh detik untuk berlari, merapikan jaket, berdiri, dan klik. Satu potret lahir. Aku, sepedaku, dan masa lalu yang membisu di balik kendaraan tua itu.

Sebuah gambar sederhana, tapi penuh perasaan. Dalam diamnya, ia bercerita lebih banyak daripada aku bisa rangkai dengan kata. Aku tersenyum kecil, bukan karena sempurna, tapi karena jujur. Dalam momen itu, aku merasa cukup.

Strava mencatat jarak 20,19 kilometer. Waktu tempuh 1 jam 9 menit. Dan 4,39 kilogram karbon yang tak jadi tercetak di langit. Tapi itu hanya angka. Yang tak bisa diukur adalah rasa tenang yang kupetik dari sore itu.

Di pelataran De Tjolomadoe, dengan ponsel yang bertengger di atas kran air, aku menemukan kembali betapa sederhana bahagia itu. Cukup satu sepeda, satu tujuan, dan satu momen yang diam-diam mengisi ulang hidupku.