Hari ini, di perpustakaan kecil yang selalu berdebu meski jendela selalu terbuka, buku-buku mulai berbisik kepadaku. Aku tidak pernah tahu pasti apakah mereka berbicara, atau aku hanya mendengar gema dari pikiranku sendiri yang lelah. Di antara punggung-punggung berwarna kuning, merah, dan cokelat tua, aku melihat para penulis saling memandang, seolah sedang menyusun konspirasi untuk membongkar tabir tipis yang menutupi dunia.
Tan Malaka, dari balik jilid tebal Materialisme, Dialektika, dan Logika, menatapku dengan mata yang tidak tertulis, mata yang terasa seperti batu nisan dari abad yang hilang. Ia berbisik bahwa logika hanyalah alat, dan alat itu bisa berubah menjadi borgol jika dipeluk terlalu erat. Di sebelahnya, Humankind karya Rutger Bregman tersenyum seperti seorang pengemis yang menyembunyikan emas di kantongnya, ia mengingatkanku bahwa manusia, meski diperas oleh sejarah dan keserakahan, masih memiliki rahim yang melahirkan kebaikan.
Namun, dunia ini telah kehilangan aroma lambatnya waktu. Kita berlari tanpa tujuan, seperti halaman-halaman buku yang dibalik angin, tak sempat dibaca. The Black Swan menegakkan punggungnya, mengingatkanku bahwa kejutan-kejutan besar selalu datang dari arah yang kita abaikan, sementara The Righteous Mind menepuk bahuku dan berkata bahwa kebenaran itu bercabang seperti akar beringin, saling melilit tanpa pernah menyatu.
Aku merasa seperti berada di dalam Kepunahan Keenam, bukan hanya kepunahan spesies, tetapi kepunahan makna, dalam masyarakat transparansi, segala hal dibuka, tetapi tak ada yang benar-benar terlihat. Mungkin itu sebabnya Origins berdiri di sana seperti fosil yang setia, mencoba menjelaskan dari mana kita datang, sementara Work hanya menghela napas, tahu bahwa kita akan terus bekerja bahkan setelah alasan kita lenyap.
Dan di antara semua itu, aku berdiri, bukan sebagai pembaca, melainkan sebagai halaman yang menunggu untuk ditulis. Dunia di luar sana semakin bising, semakin terang, semakin cepat. Tapi di sini, di lorong sempit antara Humankind dan The Black Swan, waktu berhenti. Aku merasa kebebasan bukanlah percepatan, melainkan keberanian untuk berhenti, menatap, dan membiarkan yang tak terlihat akhirnya mengendap di mata.