Siang itu, aku berkendara tanpa tujuan pasti, seperti seseorang yang telah melepaskan diri dari paksaan produktivitas yang membelenggu. Langit menggantung rendah, kelabu dan berat, namun tidak mengancam, ia hanya menjadi cermin dari kesadaran yang tidak terburu-buru. Aku tiba di sebuah sudut kota yang anehnya begitu tenang, dan di sanalah aku melihatnya, bangunan berbentuk kapal raksasa yang tak bergerak, ditambatkan oleh imajinasi manusia. “Mendoan,” demikian tertulis di lambungnya, merah menyala seperti hasrat yang telah dijinakkan oleh kontemplasi.
Aku duduk di kursi mobil, melihat bendera, di mana Merah Putih berkibar pelan, bukan karena angin yang kuat, melainkan karena ia sudah terbiasa berdiri melawan waktu. Bangunan ini bukan sekadar restoran atau tempat wisata, ia adalah metafora, sebuah bentuk spasial dari jeda. Sebuah kapal yang tak perlu berlayar untuk tetap bermakna. Di era di mana mobilitas menjadi dogma, tempat ini mengajarkan aku untuk menetap, untuk mengalami ruang secara mendalam, bukan sekadar melewatinya.
Dunia hari ini dipenuhi oleh tekanan akan pencapaian, akan performa, akan menjadi sesuatu yang lebih. Namun di sini, di depan kapal yang tak bergerak ini, aku merasa cukup. Aku merasa hidup. Tidak ada algoritma yang mengukur keberadaanku, tidak ada notifikasi yang mendesak. Hanya diam, dan kehadiran yang utuh. Inilah bentuk lain dari kebebasan, bukan kebebasan untuk memilih sebanyak mungkin, melainkan kebebasan untuk hadir secara total.
Aku menyadari, mungkin inilah makna sebenarnya dari keindahan: sesuatu yang tidak menuntut kita untuk melihatnya, namun selalu siap untuk ditemukan oleh siapa pun yang bersedia berhenti sejenak. Maka aku berhenti, duduk, dan membiarkan waktu menatapku kembali. Tidak ada yang harus dilakukan, dan justru karena itu, segalanya menjadi mungkin.