Aku berhenti di zebra cross seperti seseorang yang ragu-ragu di ambang takdirnya sendiri. Malam telah menumpahkan cahayanya dengan malas di atas aspal kota, menyulamkan cahaya lampu jalan dengan bayang-bayang kelelahan yang tak selesai. Di depanku, arus kendaraan seperti sungai waktu yang tak mau menoleh ke belakang. Dan aku, duduk di atas sepeda yang diam-diam lebih mengerti tentang kesepian manusia dibanding semua filsuf yang pernah hidup.
Tanganku memegang setang seakan sedang menggenggam kenangan. Aku tak tahu apakah yang gemetar itu tangan atau malam. Di sisi kiri, motor merah mengintip seperti makhluk penasaran yang tahu aku sedang menyusun keputusan, meski tak ada yang benar-benar bisa memilih di dunia yang penuh kebisingan ini. Di depan sana, papan reklame bersinar murung, menggoda siapa saja yang haus akan kepastian, padahal yang ditawarkan hanyalah janji palsu kebahagiaan instan.
Aku pikir, semua orang benar. Dunia ini telah kehilangan rasa hening. Bahkan malam pun kini tak benar-benar sunyi. Di setiap detik yang berlalu, kita seperti sedang diburu oleh tuntutan untuk menjadi versi terbaik dari diri sendiri, padahal mungkin yang kita butuhkan hanyalah duduk diam di atas sepeda di tengah jalan, memandangi arus mobil yang tak peduli, dan menerima bahwa tak semua persimpangan harus dilewati.
Ada sesuatu yang magis dalam ketidakpastian ini, seperti dalam kisah-kisah para pendahulu, di mana waktu bisa membeku dan kenyataan menjadi kabur, seolah-olah aku bisa terus berada di titik ini selamanya, di antara keinginan untuk terus mengayuh dan kebutuhan untuk diam. Apakah ini yang disebut nostalgia akan masa depan? Aku belum tahu.
Angin malam mencolek pipiku, membawa aroma bensin dan debu, juga bayangan masa lalu yang tak bisa dihapuskan dari ingatan jalanan. Di tempat seperti ini, aku merasa seperti tokoh yang terlupakan dari novel usang, yang terus mengayuh sepeda di antara mimpi dan kenyataan, dalam kota yang tak pernah tidur, dalam dunia yang sibuk membangun menara dirinya sendiri sampai tak sadar bahwa ia telah kehilangan langit. Dan mungkin… aku tak perlu menyeberang malam ini. Aku bisa menunggu sebentar lagi, menunggu sampai kesunyian kembali ditemukan.