Melamun


Sepulang kerja, dunia tidak lagi berbicara. Ia hanya bergumam pelan lewat suara roda sepeda yang kehilangan angin. Aku berhenti. Ban bocor. Jalan lengang. Lampu jalan menyala kekuningan, meneteskan cahaya seperti kantuk yang tertahan. Di bawah pohon tua dan tiang listrik yang membelah langit, seorang lelaki membungkuk menambal ban sepedaku. Dan aku? Setelah membelikan segelas es teh untuknya, aku duduk diam. Aku melamun.

Bukan karena ingin, tapi karena akhirnya bisa. Sepanjang hari, aku telah menjadi fungsi. Menjawab, mengeksekusi, memproduksi, mempercepat, menyenangkan. Kini, di tepi malam yang basah oleh sisa-sisa rutinitas, aku kembali menjadi yang tak berguna. Dan justru di situlah aku merasa paling hidup.

Masyarakat hari ini adalah masyarakat kelelahan, begitu kata Han. Kita lelah bukan karena ditekan dari luar, tetapi karena dorongan dari dalam untuk terus melakukan, terus bersinar, terus menunjukkan diri. Kita menjadi budak dari “diri ideal” yang harus selalu aktif. Tapi dalam kelelahan itu, kita kehilangan ruang batin. Kita kehilangan hak untuk hanya ada, tanpa perlu menjelaskan keberadaan itu kepada siapa pun.

Melamun di malam sepulang kerja adalah bentuk kontemplasi yang sunyi. Ia adalah pemberontakan diam terhadap logika performatif: tidak melakukan, tidak menjelaskan, tidak mempercepat. Di saat semua orang ingin tampak sibuk, aku duduk di trotoar, hanya untuk tidak menjadi apa-apa. Dan dalam kekosongan itu, aku mengendap kembali menjadi diriku sendiri.

Lelaki tambal ban itu terus bekerja dalam diam. Ia tidak menawarkan basa-basi, hanya ketekunan. Dan diam-diam aku bersyukur: bahwa ban bocor ini menghadiahkanku sesuatu yang langka, kesempatan untuk tidak terburu - buru pulang, tidak segera sampai, dan karena itu, sempat melamun.