Sore itu, sepulang kerja, aku mengayuh sepeda di bawah langit yang bimbang antara siang dan malam. Cahaya lampu jalan menyala terlalu dini, seakan terburu-buru menyambut kegelapan yang belum tiba. Di lampu merah perempatan, aku melihat mereka, dua orang lelaki dengan helm terpasang, mendorong sebuah kombi tua berwarna kuning pudar yang bergerak lambat seperti kenangan yang enggan dilupakan.
Ada sesuatu yang ganjil tapi juga akrab dalam pemandangan itu: tubuh-tubuh yang memberi tenaga, bukan untuk bergegas ke depan seperti yang diperintahkan zaman ini, melainkan untuk menghidupkan kembali sesuatu yang telah kehilangan daya. Dunia ditulis di kepalaku berbisik bahwa kita hidup dalam tirani percepatan, setiap detik adalah peluru, setiap langkah adalah lomba, namun di hadapanku waktu seperti tersendat. Mereka mendorong bukan untuk tiba, melainkan untuk membuat perjalanan mungkin lagi.
Aku menunggu lampu hijau, tetapi seolah-olah jalanan pun ikut menahan napas, memberi ruang bagi kejadian ini. Suara gesekan ban kombi di aspal bercampur dengan desah napas mereka, lalu bersama-sama menembus udara senja yang masih hangat. Aku membayangkan, mungkin di dalam mobil itu ada bau jok kulit yang sudah retak, ada gema tawa dari perjalanan-perjalanan lama, ada sisa-sisa sore lain yang kini tak seorang pun ingat.
Ketika lampu berganti hijau dan aku mulai mengayuh lagi, aku merasa seperti baru saja menyaksikan sebuah doa tanpa kata, bukan yang meminta keajaiban, tapi yang percaya bahwa dunia masih bisa bergerak jika kita mendorongnya pelan-pelan, bersama-sama, melawan logika cepat yang menguasai zaman.