Aku masih mengingat pagi ketika dunia mulai kelelahan.
Bukan karena waktu, bukan karena kerja, tapi karena sesuatu yang tak dapat kusebut dengan nama. Kami hidup di sebuah desa yang tidak memiliki kalender, hanya jam pasir di rumah-rumah tua yang diputar balik oleh tangan-tangan tak terlihat setiap kali seseorang merasa bosan.
Orang-orang di desa kami dulu mengenal diam. Kami duduk berjam-jam menatap bayang-bayang pohon kapuk yang tumbuh di tengah alun-alun, dan anak-anak bermain tanpa tahu arti kata "produktivitas." Namun segalanya berubah sejak kedatangan pria berjubah kelabu dari utara, yang menamakan dirinya Profesor Prestasi.
Ia tidak menjual apa pun, tidak menawarkan nasihat. Ia hanya menggantung cermin di setiap rumah. "Agar kalian tahu apa yang bisa kalian capai," katanya.
Sejak itu, kami berhenti menjadi manusia dan mulai menjadi proyek. Kami bangun lebih pagi, tidur lebih malam, dan menghitung segala hal, langkah kaki, senyum orang lain, bahkan detak jantung. Kami mengunggah rasa bahagia kami ke langit digital, berharap bintang-bintang menyukainya.
Aku sendiri, entah bagaimana, menjadi terkenal karena pandai mengelola waktu. Aku menulis daftar doaku dengan tinta emas, meminjam suara motivator dari radio untuk membangun keyakinan bahwa kelelahan adalah bukti kemajuan. Setiap malam aku mencatat pencapaian harian di buku berjudul "Aku Lebih Baik dari Aku Kemarin".
Namun ada satu jam di sore hari, tepat ketika bayangan pohon kapuk mencapai sudut jendela kamarku, aku merasakan kehampaan yang sama sekali tak bisa kuukur. Seperti lubang kecil yang membesar diam-diam di dada, seperti seseorang yang melupakan nama ibunya sendiri.
Aku pergi ke rumah tua yang sudah lama ditinggalkan dan di sana aku menemukan buku yang dikirim angin, ditulis entah oleh siapa. Ia tidak berteriak, tidak menuntut revolusi, hanya menulis dengan suara angin musim gugur.
Ia mengatakan bahwa kami telah digiring ke dalam penjara tak berdinding, di mana penjaga utamanya adalah diri kami sendiri. Bahwa kami bukan lagi budak, tetapi pengusaha atas tubuh dan jiwa kami sendiri. Bahwa kami menyebut perbudakan ini: kebebasan.
Aku menangis membaca kalimat itu, seperti seseorang yang tiba-tiba mengenali bentuk luka yang tak pernah bisa ia jelaskan. Aku ingin diam. Aku ingin sunyi.
Aku kembali ke pohon kapuk, duduk di bawahnya, dan menutup mataku. Dunia terus bergerak, mencatat, mengevaluasi, menyukai, berbagi. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang terlalu lama, aku tak melakukan apa-apa. Dan dalam ketakberdayaan itu, aku merasa bebas.