Pada malam yang lembap dan nyaris beku oleh ketenangan desa, aku kembali ke tempat yang telah lama aku tinggalkan. Dulu, jalanan ini hanyalah lorong suram berlumpur yang dilalui kereta sapi dan angin dingin dari ladang tebu. Kini, cahaya hijau menyambutku seperti roh masa lalu yang menolak dilupakan. Di depan mataku berdiri makhluk yang tak pernah benar-benar ada tapi selalu ada dalam cerita nenekku: seekor buaya bersinar dengan warna-warna listrik, tergantung di udara seperti sedang berenang dalam mimpi orang gila.
“DK NGARIBOYO, RT 03/03, DS KEPUH,” kata tulisan menyala di bawahnya. Nama-nama itu seperti mantra yang dulu kulafalkan diam-diam ketika ingin pulang tapi tak punya keberanian untuk benar-benar melangkah. Aku berdiri di sana cukup lama hingga bunyi jangkrik menjadi lagu tema kembaliku yang tak dirayakan siapa-siapa.
Di masa kecilku, orang-orang bilang buaya itu dulu pernah hidup di sungai yang tak lagi mengalir, dijadikan patung karena terlalu tua untuk berburu dan terlalu bijak untuk dibunuh. Ia menatap siapa pun yang masuk desa, memastikan mereka membawa niat baik atau akan ditelan kabut malam sebelum sempat menyesal.
Kini, ia diberi lampu. Matanya hijau seperti iri, mulutnya terbuka seperti ingin berkata sesuatu—tentang waktu, tentang lupa, tentang tanah yang tak pernah benar-benar melepaskan anak-anaknya. Aku tersenyum getir. Di desa ini, segalanya abadi dalam cara yang paling ganjil: lewat kenangan yang tak pernah sepenuhnya benar, tapi tak pernah sepenuhnya salah. Dan ketika aku melangkah melewati buaya itu, kurasakan tatapannya menempel di punggungku. Mungkin ia mengenaliku.