Nol


Aku menaiki tangga ini siang tadi, terbungkus teduh dalam struktur setengah lengkung yang seakan menyaring cahaya mentah dunia menjadi sesuatu yang lebih halus, lebih dapat dirasa. Di sini, di bawah lengkungan kain putih itu, aku tak merasa tertekan oleh beban dunia. Justru sebaliknya, aku merasa ringan.

Tangga ini bukan sekadar sarana menuju titik yang lebih tinggi. Ia adalah jeda dari kecepatan dunia, dari tekanan untuk selalu produktif. Dalam langkah-langkah kecilku, aku menemukan sesuatu yang langka di zaman ini: waktu untuk hadir. Waktu untuk sekadar menghirup, menjejak, dan merasakan tubuhku bergerak tanpa dorongan algoritma atau jadwal.

Barisan kuning di tepian anak tangga mengingatkanku pada batas, bukan larangan, melainkan penanda. Penanda bahwa aku tidak harus melampaui segalanya. Bahwa berada dalam koridor ini pun cukup. Bahkan menyenangkan. Di zaman di mana segala hal harus transparan, aku bersyukur atas bayangan yang ditinggalkan pohon di atas terpal ini. Bayangan yang tidak menjelaskan, tidak menuntut dipahami, hanya hadir sebagai isyarat bahwa di luar ada kehidupan lain, pelan dan diam, namun tetap hidup.

Menaiki tangga ini bukanlah kerja. Ia lebih menyerupai meditasi. Di tengah dunia yang mencintai kelancaran, kecepatan, efisiensi, aku merayakan friksi. Setiap injakan adalah penolakan halus terhadap dunia yang menuntut kita terus menggeser, mengklik, menonton, menanggapi. Tangga ini memintaku untuk berjalan, untuk hadir, untuk tidak melewatkan apa pun.

Dan anehnya, aku merasa bahagia. Sebab mungkin inilah yang dimaksud kebahagiaan dalam dunia yang kehilangan kedalaman: saat kita bisa merasakan dunia lagi, perlahan, satu anak tangga pada satu waktu.