Rindu Delapan


Pada suatu subuh, ketika azan berkumandang pelan dari surau tua yang hampir roboh, aku menyadari bahwa setiap rindu adalah doa yang menyamar. Bibirku tidak bergerak, namun dadaku penuh kata-kata yang terangkat bersama kabut pagi. Aku tidak tahu apakah langit mendengar, atau apakah ada telinga gaib yang menampungnya. Tetapi seperti doa, rindu tidak membutuhkan jawaban; ia hidup dari keberangkatan, bukan dari kepastian akan kepulangan.

Zaman kini telah kehilangan ruang untuk berdoa, karena dunia terlalu sibuk dengan keriuhan dan tuntutan efisiensi. Namun rindu membuka kembali ruang itu. Ia menjadikan hati sebagai mihrab, kesepian sebagai sajadah, dan keheningan sebagai kiblat. Dalam rindu, manusia berdoa tanpa agama, berdoa tanpa nama Tuhan, karena cukup dengan mengingat seseorang, langit sudah digerakkan untuk mendengar.

Ada malam-malam ketika aku menutup mata, dan rindu berubah menjadi bisikan yang ingin sekali sampai. Aku membayangkan kata-kata itu terbang seperti burung hitam melintasi kota, mendekati jendela seseorang, lalu mengetuk perlahan. Namun tak peduli apakah jendela itu dibuka atau tidak, burung tetap terbang, karena doa tidak bergantung pada penerima. Yang penting adalah kepergian, dan keberanian untuk melepaskan suara ke dalam ruang yang tak terjangkau.

Maka aku tahu, rindu dan doa bersaudara: keduanya lahir dari kerinduan yang tak mampu dipenuhi, dari jarak yang terlalu luas untuk ditempuh dengan langkah. Doa adalah rindu yang mengarah ke langit, dan rindu adalah doa yang kembali ke bumi. Keduanya tak meminta kepastian, hanya tempat untuk bersemayam. Dan mungkin, justru karena itu, mereka selalu menemukan jalan untuk sampai, meski kita tak pernah tahu di mana ujungnya.