Rindu Dua


Ada seorang lelaki tua di kota ini yang setiap sore duduk di beranda rumahnya, menatap ke arah jalan yang jarang sekali dilalui orang. Ia tidak menunggu siapa pun secara khusus, tetapi semua orang tahu bahwa dirinya sedang menunggu. Waktu baginya bukanlah arloji yang tergantung di dinding, melainkan napas panjang yang hanya bisa diukur lewat kerinduan. Orang-orang muda menertawakannya, sebab mereka hidup dalam dunia yang segala sesuatu datang begitu cepat, bahkan sebelum sempat diminta. Namun justru di situlah rindu kehilangan tanahnya, seperti burung yang dipaksa terbang tanpa langit.

Dunia modern telah merampas seni menunggu. Kesabaran dianggap kelemahan, keterlambatan dianggap dosa. Padahal, rindu tidak lahir dari kecepatan, melainkan dari keterlambatan yang disengaja, dari jeda yang membuat hati sempat bergetar sebelum disentuh. Di era ini, menunggu sehari saja dianggap terlalu lama, padahal dahulu ada cinta yang sanggup bersembunyi dalam diam bertahun-tahun, hidup hanya dari aroma selendang yang tertinggal di kursi kayu.

Aku sering berpikir, mungkin kehilangan adalah ladang tempat rindu tumbuh subur. Tanpa kehilangan, rindu hanya menjadi kabut tipis yang sebentar lagi lenyap. Tetapi dengan kehilangan, rindu menjelma pohon tua yang akarnya menembus tanah dan cabangnya merangkul langit. Kehilanganlah yang memberi bobot pada ingatan, membuat setiap detail, senyum yang retak, langkah yang tertinggal, bahkan keheningan, menjadi benda suci yang disimpan di altar hati.

Karena itu, aku mulai percaya bahwa rindu adalah bentuk paling lembut dari waktu itu sendiri. Ia memperlambat langkah kita, memaksa kita berhenti di tepi jalan untuk mendengar gema sesuatu yang sudah tidak ada, atau belum tiba. Dalam rindu, waktu tidak berjalan lurus, melainkan berputar, berliku, dan terkadang kembali ke titik awal hanya untuk memastikan kita tidak melupakan bahwa hidup ini tidak pernah lengkap tanpa jarak, tanpa sabar, dan tanpa kehilangan.