Rindu Empat


Di tengah malam yang sepi, ketika suara jangkrik terdengar lebih jelas daripada detak jantungku sendiri, aku menemukan bahwa rindu adalah kesunyian yang memilih bentuk tubuh. Ia tidak berteriak, tidak memaksa, hanya duduk diam di kursi kosong dan membuat ruangan terasa lebih penuh daripada sebelumnya. Kesunyian itu menjelma dinding tak kasat mata, memisahkanku dari dunia, tetapi sekaligus mempertemukanku dengan bayangan seseorang yang jauh, entah di mana.

Kebisingan zaman ini membuat manusia kehilangan kemampuan untuk mendengar dirinya sendiri. Kita dikepung oleh notifikasi, pesan, dan suara-suara kecil yang tidak memberi ruang pada hening. Tapi rindu memerlukan sunyi, sebab hanya di dalam keheninganlah ia dapat tumbuh dengan tenang, seperti bunga yang mekar tanpa ada yang menyaksikan. Kesunyian bukan sekadar ketiadaan suara, melainkan tanah tempat rindu menancapkan akar.

Aku mulai mengerti, mungkin kesunyian itu sendiri adalah bahasa yang digunakan rindu. Setiap jeda, setiap diam yang panjang, adalah kalimat yang tidak terucapkan tapi bisa dimengerti oleh hati. Kesunyian menyembunyikan rindu, sekaligus menyingkapkannya; seperti tirai tipis yang menutupi wajah, namun justru membuat tatapan lebih terasa. Dan dalam bahasa sunyi itu, aku berbicara dengan seseorang yang bahkan tidak tahu sedang dipanggil.

Kini aku tahu, kesunyian bukanlah musuh, melainkan sekutu rindu. Tanpanya, rindu hanya akan jadi gema yang terpecah di antara kebisingan. Tetapi bersama kesunyian, rindu menemukan bentuk yang paling murni: tidak terburu-buru, tidak mencari jawaban, hanya mengada. Dan barangkali, pada akhirnya, kesunyian dan rindu adalah pasangan abadi, dua bayangan yang saling menunggu, bahkan setelah kita sudah tidak ada lagi di dunia ini.