Rindu Enam


Pada malam-malam tertentu, ketika tidurku diselimuti kelembaban udara dan bunyi hujan di atap seng, rindu masuk ke dalam mimpi seperti tamu yang tidak diundang namun tak bisa ditolak. Di sana, wajah yang lama hilang muncul kembali tanpa keriput waktu, suara terdengar jernih seolah baru saja diucapkan, dan kehadiran begitu nyata hingga aku bisa merasakan jarak tubuh yang hangat. Saat itulah aku sadar: rindu menjadikan mimpi sebagai panggungnya, tempat ia mempermainkan batas antara ingatan dan harapan.

Dunia modern membanjiri kita dengan gambaran yang terlalu cepat usang, hingga tidak sempat membekas. Namun mimpi bekerja sebaliknya: ia mengabadikan yang seharusnya sirna, memperpanjang detik yang mestinya terputus. Rindu memanfaatkan mimpi sebagai ruang penyelamatan, agar apa yang telah pergi bisa kembali sebentar, tanpa tuntutan, tanpa syarat. Mimpi adalah satu-satunya tempat di mana rindu tidak malu menunjukkan dirinya.

Namun pagi fajar tiba, mimpi itu runtuh, meninggalkan tubuhku dengan rasa kehilangan yang lebih dalam daripada sebelumnya. Itulah ironi rindu: ia memberi hanya untuk mengambil, ia hadir hanya untuk menegaskan absennya. Dan tubuh yang baru saja disentuh mimpi harus belajar menerima bahwa apa yang hangat semalam hanyalah kabut tipis yang dibentuk oleh tidur. Tetapi justru dalam kerapuhan itulah rindu menemukan kekuatannya: ia mampu melukai sekaligus menghidupkan dalam satu hembusan.

Maka aku mulai percaya bahwa rindu adalah mimpi yang menolak bangun. Ia terus mengalir di sela-sela tidur dan jaga, membuat batas di antaranya cair, hingga seseorang yang jauh terasa dekat, dan yang sudah tiada seolah masih hidup. Rindu dalam mimpi adalah bukti bahwa hati manusia lebih percaya pada ilusi yang menyentuh jiwa, daripada pada kenyataan yang dingin dan tak berbelas kasihan.