Ada malam-malam ketika tubuhku sendiri menjadi ladang rindu. Dada terasa sesak oleh sesuatu yang tak bisa disebut, tulang-tulang bergetar seolah menyimpan nama yang berusaha keluar, dan kulitku seperti mengingat sentuhan yang sudah lama hilang. Rindu, aku sadari, bukan hanya urusan jiwa; ia menulis dirinya di tubuh, menjadikan keringat, detak, dan gemetar sebagai aksara yang tak terbaca, kecuali oleh mereka yang pernah merasakannya.
Dunia modern terlalu menekankan performa tubuh: tubuh yang harus bugar, produktif, efisien. Namun tubuh yang dirundung rindu justru menolak logika itu. Ia malas, lamban, tenggelam dalam diam. Tubuh yang merindu bukan tubuh yang berguna bagi pasar, melainkan tubuh yang setia pada kehilangan. Karena itu, dalam rindu, tubuh seolah menjadi saksi bisu dari sesuatu yang tidak bisa digantikan: kehadiran yang tak ada, suara yang tak lagi terdengar.
Aku sering bertanya-tanya, mengapa rindu membuat tubuh sakit, padahal ia bukan penyakit? Barangkali karena tubuh tahu bahwa ia tidak bisa menutup jarak dengan berjalan kaki, atau dengan tangan yang terulur. Tubuh tahu bahwa ada hal-hal yang tak bisa dijangkau oleh gerak, hanya oleh penantian. Maka rasa sakit itu bukan hukuman, melainkan ingatan: bahwa tubuh juga bisa mencintai dengan cara bergetar dalam kekurangan.
Dan akhirnya aku mengerti, tubuh yang merindu tidak pernah benar-benar ingin sembuh. Karena jika sembuh, maka hilanglah alasan bagi jantung untuk berdetak dengan makna, bagi tulang untuk menahan berat bayangan seseorang. Rindu adalah luka yang dipelihara, sakit yang disayangi, karena hanya melalui tubuh yang tersiksa dengan manis itulah kita mengingat: bahwa kita pernah menyentuh dunia dengan cara yang paling dalam, melalui kehadiran orang lain.