Rindu Satu


Pada suatu sore yang panjang dan malas, ketika matahari tergantung di langit seperti buah yang terlalu matang untuk jatuh, aku teringat bahwa rindu bukanlah luka, melainkan jarak yang berdiam di antara dua napas. Di kampung ini, orang-orang percaya bahwa rindu adalah hantu paling sopan: ia tidak pernah mengetuk pintu, hanya duduk di ambang jendela, menunggu sampai kau menoleh. Tapi aku, yang telah membaca terlalu banyak buku dan terlalu sedikit wajah, mulai mengerti bahwa rindu tumbuh justru karena jarak itu dibiarkan tetap utuh, seperti jembatan yang tak pernah dilintasi agar tetap kokoh dalam bayangan.

Dunia yang terlalu cepat membunuh rindu. Dalam kecepatan, jarak terpangkas; segala hal jadi hadir sebelum sempat diharap. Di sini, aku melihat itu di mata para pemuda yang setiap pesan balasannya datang lebih cepat dari detak cemas. Mereka tidak lagi menunggu hujan untuk menulis surat, tidak lagi menghafal aroma seseorang untuk menukar kata. Mereka telah mengusir hantu rindu, dan dengan itu, mengusir salah satu rahasia mengapa dunia ini masih terasa layak ditunggu.

Aku pernah mencoba memanggil kembali rindu itu. Caranya sederhana tapi jarang dilakukan: membiarkan waktu mengental seperti madu di dasar cangkir. Tidak menghubungi, tidak mencari, hanya menjaga jarak seperti seorang biarawan menjaga sumpah. Dalam kesunyian itulah, rindu membentang sayapnya, melayang-layang di atas kepala, mengabarkan bahwa kehadiran selalu lebih manis jika dibungkus ketidakhadiran.

Kini aku tahu, rindu adalah taman yang tidak boleh dipetik bunganya terlalu sering. Ia memerlukan malam panjang dan musim yang malas berganti. Jika engkau meruntuhkan pagar jarak, rindu akan pergi, dan bersamalah ia membawa keajaiban yang membuat setiap pertemuan menjadi mukjizat. Dan tanpa mukjizat, dunia ini hanyalah pasar yang ramai, tapi sepi di dalam hati.