Rindu Sembilan


Di rumah-rumah tua di kampung ini, orang masih percaya bahwa rindu adalah bara kecil yang ditiup dari dada ke dada. Api itu tidak tampak, tapi terasa: ia membuat tubuh menggigil sekaligus hangat, membuat malam yang panjang menjadi singkat, dan membuat satu nama terus bergema bahkan ketika lidah tak lagi mengucapkannya. Namun seperti setiap api, rindu juga memiliki sifat rakus; ia bisa menjilat habis kesadaran, hingga yang tersisa hanyalah abu dari harapan yang terlalu lama dipelihara.

Dunia kita hari ini penuh dengan “kelebihan energi”, kita terbakar bukan oleh api lambat rindu, melainkan oleh panas produktivitas, kecepatan, dan performa. Tetapi api itu berbeda: ia membakar habis tanpa memberi makna. Rindu adalah api yang lain: ia lambat, ia sabar, ia memberi ruang bagi jiwa untuk merasakan hangat sebelum terbakar. Dalam kobaran kecilnya, ada kedalaman yang tidak dimiliki oleh kilatan layar atau notifikasi.

Aku sering merasa, api rindu tidak pernah memilih tempat yang tepat untuk menyala. Ia bisa menyala di tengah kesunyian yang damai, atau justru di tengah keramaian yang gaduh. Kadang ia hanya cukup besar untuk menghangatkan malam, kadang ia menjelma kebakaran yang membuat tidur mustahil. Dan yang paling aneh: tidak ada yang benar-benar ingin memadamkannya. Karena tanpa api itu, malam hanya dingin, waktu hanya kosong, dan dunia kehilangan aroma hangus yang membuatnya hidup.

Maka aku percaya, rindu adalah api paling manusiawi. Ia mengajarkan kita bahwa hangat dan sakit bisa lahir dari sumber yang sama. Ia bisa menjadikan seseorang rumah, tapi juga penjara. Dan mungkin, pada akhirnya, manusia tidak pernah ingin terbebas dari api ini, karena hanya dengan terbakar rindu, kita mengingat bahwa kita pernah hidup bukan hanya dengan daging dan tulang, tapi juga dengan nyala yang tak terlihat.