Setiap sore, ketika udara mulai berat oleh bayangan malam, aku menaruh segelas kopi dingin di meja kayu. Uap tak lagi naik ke udara, yang ada hanya embun tipis yang menempel di dinding gelas, seolah rindu yang tak sanggup terucap akhirnya memilih berdiam di permukaan. Kopi dingin itu tidak menawarkan pelukan hangat, melainkan kejernihan yang menusuk perlahan, membuat lidah sadar betapa getir bisa terasa lebih lama ketika disajikan dalam dingin.
Dunia modern mempercepat segala sesuatu, membuat panasnya hidup cepat sekali menguap. Tapi kopi dingin adalah kebalikannya: ia menyimpan panas yang sudah padam, menghadirkan ketenangan yang menunda, membiarkan pahit meresap lebih dalam. Begitulah rindu bekerja, ia bukan kobaran api, melainkan sisa bara yang disimpan dalam es, terus hidup dalam dingin yang tenang namun tak pernah betul-betul padam.
Aku meneguk perlahan, dan dalam setiap tetes terasa jarak yang panjang. Kopi dingin membuat waktu melar, membuat getir lebih jernih, membuat rindu lebih tajam. Tidak ada asap yang menipu mata, hanya kejernihan hitam yang jujur: kehadiran yang tidak datang, nama yang tidak disebut, wajah yang tidak muncul. Rindu dalam kopi dingin adalah penantian tanpa drama, tetapi justru lebih menyakitkan karena begitu sunyi.
Maka aku percaya, kopi dingin adalah metafora terbaik bagi rindu yang sudah lama disimpan. Ia tidak lagi menyala, tidak lagi beruap, namun tetap hidup dalam pahit yang tak bisa dihindari. Dan seperti embun yang menempel di gelas, rindu itu seakan ingin keluar, tapi tetap terkurung di dalam dingin. Ia tidak hangat, tidak pula hilang, hanya bertahan, menunggu, hingga akhirnya habis diteguk bersama waktu.