Di desa yang dikelilingi rawa dan pohon mangga tua, orang percaya bahwa ingatan memiliki aroma. Setiap kali angin membawa wangi bunga yang gugur terlalu dini, seseorang akan merasakan rindu yang tidak tahu asalnya. Aku pun mengalaminya: seolah-olah ada wajah yang bersembunyi di balik kabut masa lalu, menatapku dari balik jendela yang tak pernah lagi dibuka. Rindu, pada saat itu, bukan lagi sekadar jarak, melainkan keabadian kecil yang tinggal di dalam tubuh, menghidupi kenangan yang enggan mati.
Dunia modern mencintai yang fana, yang cepat lewat dan segera tergantikan. Namun rindu menolak logika itu. Ia memelihara ingatan yang tidak mau dilupakan, mengubah detik-detik sepele menjadi batu nisan kecil yang tak lapuk oleh hujan. Ingatan itu, meski rapuh, justru menjadi pintu menuju keabadian, karena di dalam rindu, seseorang yang sudah lama hilang bisa hadir kembali dengan detail yang begitu menyakitkan: kerutan di sudut mata, nada tawa, bahkan bunyi langkah di lantai kayu.
Aku mendapati bahwa rindu bukan hanya menghidupkan yang tiada, tetapi juga menolak kematian itu sendiri. Orang yang dirindukan seolah tetap hidup, berjalan bersamaku, duduk di meja makan, atau berdiri di sudut kamar pada malam yang gelap. Ingatan yang dibalut rindu membuat batas antara yang hidup dan yang mati menjadi kabur, seperti garis pasir yang dihapus ombak. Dan barangkali, itulah bentuk keabadian yang paling manusiawi: tidak selamanya hadir di dunia, tapi selamanya hidup dalam rindu.
Pada akhirnya, aku menyadari bahwa rindu adalah satu-satunya cara tubuh memberi makna pada ingatan. Tanpa rindu, ingatan hanyalah catatan dingin, arsip tanpa jiwa. Tetapi dengan rindu, setiap ingatan berdenyut seperti jantung yang masih berdetak. Ia mengingatkan kita bahwa apa yang pernah kita cintai, meski telah pergi, tidak pernah benar-benar hilang, karena keabadian itu bukan berada di langit, melainkan dalam kerinduan yang kita pelihara di dada.