Rindu Tujuh


Di pemakaman tua di tepi kota, aku pernah melihat seorang perempuan renta duduk berjam-jam di depan batu nisan yang sudah hampir tertelan lumut. Ia tidak menangis, tidak pula berdoa. Ia hanya duduk diam, seolah tubuhnya sendiri telah menjadi penanda bahwa orang yang dikubur di bawah tanah itu masih memiliki seseorang yang menunggunya. Dari kejauhan aku menyadari: barangkali rindu adalah bentuk cinta yang paling setia kepada kematian, sebab ia tetap bertahan di antara yang hidup dan yang tak lagi ada.

Modernitas berusaha menyingkirkan kematian dari pandangan, mengasingkannya ke rumah sakit, menyembunyikannya di balik layar yang penuh citra muda dan segar. Namun rindu menolak pengasingan itu. Ia mengembalikan kematian ke pangkuan kehidupan, menjadikan kehilangan sebagai bagian dari denyut sehari-hari. Rindu tidak membiarkan kita lupa, melainkan menghadirkan yang tiada dalam cara paling halus: melalui ingatan, bayangan, dan hening.

Ada malam-malam ketika aku merasa kematian bukanlah akhir, melainkan pintu di mana rindu mulai bekerja dengan paling rajin. Mereka yang telah pergi tidak benar-benar meninggalkan kita; mereka berpindah tempat, dari dunia yang bisa disentuh ke dunia yang hanya bisa dirasakan. Rindu menjaga agar pintu itu tidak terkunci, agar roh mereka masih bisa keluar-masuk lewat celah mimpi, atau sekadar lewat dalam suara yang tiba-tiba muncul di kepala.

Maka aku percaya, rindu adalah perlawanan terakhir manusia terhadap kefanaan. Ia menolak tunduk pada batas kubur, menolak patuh pada logika tanah yang menelan tubuh. Selama rindu masih hidup, kematian tidak pernah mutlak. Dan mungkin itulah sebabnya rindu terasa begitu berat: karena ia membawa keabadian kecil di dalam dada manusia fana.