Sekaten


Di tengah hiruk-pikuk malam Sekaten, ketika lampu-lampu warna-warni berputar seperti bintang yang tersesat di bumi, aku melihat Iliana duduk dengan keseriusan yang mengalahkan waktu. Tangannya yang mungil memegang kuas, menggoreskan warna pada seekor celengan tanah liat yang putihnya seperti halaman kosong di buku mimpi.

Udara penuh aroma gula kapas, jagung bakar, dan debu tanah lapang yang diinjak ribuan langkah. Di kejauhan, bianglala berputar pelan, seakan menggiling ingatan-ingatan masa lalu menjadi serpihan cahaya. Orang-orang berlalu-lalang seperti bayang-bayang yang lupa tuannya, sibuk memotret, merekam, mengunggah, memadatkan momen menjadi data, tanpa pernah betul-betul hadir di dalamnya.

Dunia ini telah kehilangan rasa heningnya; kita hidup dalam keterpaparan abadi, di mana setiap detik harus dibuktikan dengan gambar dan dibagikan seperti koin yang tak punya nilai emosional. Tapi malam ini, Iliana duduk di luar arus itu. Ia tak memikirkan siapa yang akan melihat karyanya di layar kecil, ia hanya mengejar pertemuan rahasia antara warna dan permukaan tanah liat.

Aku memandangnya seperti seorang saksi yang berutang pada masa depan. Mungkin, suatu hari nanti, ketika ia dewasa dan dunia telah menjadi lebih bising, ia akan lupa bentuk celengan tanah liat itu. Tapi aku akan ingat, bahwa ada malam di Surakarta, di tengah Sekaten yang riuh, ketika waktu berhenti di tangan seorang anak kecil, dan dunia, untuk sesaat, kembali punya heningnya.