Saat langit meredup seperti hati yang letih memikirkan waktu yang terus menyusut tanpa makna, aku bersepeda melaju pelan di antara barisan motor yang seperti semut-semut kebingungan, masing-masing percaya bahwa percepatan adalah jalan menuju kehidupan yang utuh.
Aspal hitam yang baru saja dibasuh hujan mengilap seperti layar ponsel yang tak pernah padam, memantulkan cahaya lampu dan ketergesaan. Di sekelilingku, tubuh-tubuh berhelm dengan wajah yang tersembunyi, tapi pikirannya gamblang: pekerjaan, pulang, besok pagi, lalu ulangi. Tak ada lagi ruang sunyi untuk ragu, apalagi bertanya: ke mana semua ini menuju?
Aku teringat kata-kata bahwa zaman ini bukan lagi menindas kita dengan larangan, melainkan dengan undangan untuk bisa segalanya. Maka kami pun melaju: bukan karena ingin, tapi karena harus, karena diam terasa seperti dosa, dan lambat adalah bentuk kegagalan yang paling malu-malu.
Di sisi kiri jalan, pohon-pohon berdiri seolah masih percaya pada waktu yang tidak terburu-buru. Mereka tak memproduksi apa pun selain keteduhan. Tapi tak ada yang melihat mereka. Mungkin karena tak ada sinyal Wi-Fi di dedaunan.
Aku yang tak pernah tahu caranya berhenti tanpa rasa bersalah, merasakan tubuhku menjadi data, lalu menjadi debu, lalu menjadi keheningan yang ditenggelamkan knalpot. Mungkin inilah bentuk cinta terakhir di kota ini: kita saling membiarkan satu sama lain larut dalam keterasingan, tanpa pernah benar-benar bertanya: Apakah kau lelah, seperti aku juga?
Langit menguning, lalu menggelap. Hari berakhir tanpa perayaan. Dan kami semua tetap melaju, saling mendahului, dalam parade yang sunyi dan tak pernah selesai.