Tiga


Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, aku kembali menyusuri jalanan kota yang perlahan beringsut dari hiruk ke hening. Tapi ada sesuatu yang lain malam ini, sesuatu yang tak menggelegar namun menggugah, tak megah namun meresap. Di tengah gelap yang mengendap, tiga kendaraan berhias lampu neon berdiri diam, menyala dalam warna-warna yang tidak hanya menerangi jalan, tapi juga menghadirkan sesuatu yang lebih dalam: kegembiraan yang tidak riuh, melainkan bening dan jernih.

Aku berdiri di sana, diam, seperti seorang peziarah yang tiba-tiba disapa oleh cahaya dari luar dunia. Kendaraan ini bukan sekadar moda transportasi, mereka seperti hewan mitologis kota, makhluk urban yang lembut, mengundang kita untuk berhenti sejenak dari logika efisiensi, dari dorongan produktivitas, dan mengingatkan bahwa ada kehidupan di luar performa.

Keindahan muncul dari kejernihan dan ketenangan, bukan dari paksaan atau tekanan. Dan di sinilah aku berdiri, dikelilingi oleh keindahan yang muncul justru karena tidak ada tujuan utilitarian yang melekat padanya. Tidak ada yang terburu-buru. Tidak ada hiruk. Yang ada hanya nyala lampu-lampu kecil yang bicara tentang kebahagiaan sebagai bentuk kediaman, bukan ledakan.

Aku membayangkan anak-anak yang naik ke atas kendaraan itu, tertawa, dan orangtua yang diam-diam mengingat masa kecil mereka. Di tengah dunia yang dibanjiri oleh kebisingan informasi dan tekanan untuk menjadi “lebih”, kendaraan-kendaraan ini seperti ruang kontemplatif yang berjalan. Mereka bukan hanya mengangkut tubuh, tetapi juga jiwa, menarik kita pelan-pelan ke arah yang lebih jernih.

Malam ini, aku tidak mencari tujuan. Aku hanya berdiri di sisi jalan, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa tidak perlu menjadi siapa-siapa. Aku cukup menjadi saksi bagi cahaya kecil yang bersinar lembut di tengah gelap. Dan itu cukup. Lebih dari cukup.