Toriyo

 Ada hari-hari yang tidak tercatat di kalender, tapi hidup selamanya di dalam dada. Hari itu adalah satu dari yang langka: ketika udara lebih berat dari biasanya, seolah dipenuhi oleh desahan yang berasal dari masa lalu dan masa depan yang saling bertaut.


Tempat itu berdiri seperti mimpi yang tiba-tiba mewujud, bangunan kayu dan kaca yang tak banyak bicara, tapi seolah mengamati dengan sabar, menyimpan suara-suara yang hampir tidak terdengar. Angin berembus pelan, membawa aroma teh yang tidak benar-benar diseduh, mungkin hanya kenangan yang mengembara, mencari asalnya.

Batu-batu paving di bawah kaki menyimpan kehangatan matahari yang lama, seperti tangan tua yang menggenggam mesra. Langit, pucat dan tenang, membentang luas tanpa ambisi, hanya menjadi kanvas tempat segala yang sederhana menjadi suci.

Tawa pecah dari mulut yang belum tercemar dendam. Gerakan tubuh kecil dan suara yang melompat-lompat menyusuri udara, mengusik dedaunan yang bergoyang pelan. Tidak ada satu pun yang mempertanyakan arti hadir di sana, semua hanya tahu, bahwa di antara bisu dan riuh, sesuatu sedang dirayakan secara diam-diam oleh alam itu sendiri.

Seolah-olah dunia lupa bergerak. Waktu menepi, duduk diam di salah satu sudut, menyaksikan sekelompok jiwa yang tanpa sadar sedang membekukan satu fragmen keabadian. Tidak ada musik, tapi jantung berdetak dalam irama yang sama. Tidak ada yang terdengar, tapi langit seperti menjawab sesuatu yang tak pernah terucap.

Di balik kamera yang diam, ada satu detik yang tertangkap tapi tak pernah selesai. Bukan tentang siapa yang berdiri di mana, tapi tentang cahaya yang jatuh dengan lembut ke pipi seseorang, tentang bayangan yang tumpang tindih di lantai, tentang udara yang mengandung bisikan-bisikan tak bernama. Hari itu bukan milik siapa-siapa, dan justru karena itu, ia milik semua.