Aiza


Aku sering memandang wajah mungilnya lama-lama, dengan perasaan campur aduk yang tak bisa kutemukan padanan katanya di kamus mana pun. Dalam senyum kecilnya, ada cahaya lembut yang menenangkan. Ada pula sesuatu yang tak terucapkan, seolah hidup sedang berjanji padaku lewat matanya: “Sungguh, dunia ini masih layak diperjuangkan.”

Pagi itu, ia bermain-main dengan selimut, membuat semacam tenda rahasia. Ia menyelinap di bawahnya, lalu mengintip dengan mata berkilat-kilat. Senyum yang sederhana, tapi memukul dadaku dengan keras. Betapa polosnya ia, betapa tanpa prasangka ia memandang dunia. Aku, yang sudah terlalu sering melihat kerasnya hidup, rasanya ingin belajar lagi padanya, belajar tertawa tanpa alasan, belajar bahagia hanya dengan sepotong kain yang dijadikan istana.

Iliana tidak tahu, barangkali suatu hari nanti, dunia akan menuntutnya untuk menjadi kuat. Tapi sekarang, biarlah ia jadi ratu kecil dalam dunianya sendiri. Biarlah ia berceloteh dengan bahasa yang hanya dipahami langit. Biarlah ia tersenyum untuk hal-hal kecil, seperti cahaya yang menembus lubang selimut, atau bayangan jarinya di dinding.

Aku, orang tuanya, hanya ingin menjaga dunia kecil itu tetap utuh selama mungkin. Sebab di balik tawa Iliana, aku menemukan doa paling tulus yang pernah ada. Doa agar ia selalu tertawa, selalu percaya, selalu menjadi alasan mengapa aku tak pernah menyerah pada hidup.