Balaikota di Sore Hari


Sore itu, langit Surakarta sedang menabuh gendang senjanya. Cahaya keemasan menembus huruf-huruf besar yang menyala; SLF, Solo Literacy Festival 2025, seperti ingin mengingatkan bahwa huruf-huruf adalah lilin kecil yang bisa menyalakan gelap. Di depan panggung raksasa literasi itu, seorang bocah mungil berbaju pink berdiri dengan wajah polos, seolah-olah dialah tamu paling penting dari pesta kata-kata ini.

Iliana, anakku, barangkali belum mengerti apa arti literasi, apa arti membaca, apa arti menulis. Tapi di wajahnya ada semacam janji, janji masa depan. Janji bahwa suatu hari nanti, ia akan membuka buku, dan menemukan semesta di dalamnya. Ia akan membaca nama-nama kota jauh, lautan yang belum pernah ia lihat, gunung yang hanya ada di peta, dan barangkali juga membaca kisah bapaknya yang menulis tentang senja ini.

Orang-orang lalu lalang. Ada yang sibuk mencari panggung diskusi, ada yang tergoda aroma jajanan kaki lima, ada pula yang hanya datang untuk berfoto dengan cahaya lampu huruf-huruf raksasa itu. Tapi mataku hanya tertuju pada Iliana, yang berdiri di tengah, bagai tanda baca paling indah dalam sebuah kalimat panjang bernama kehidupan.

Di balik gedung Balaikota, matahari mulai tenggelam. Tapi aku tahu, di hadapan Iliana, cahaya baru sedang lahir, cahaya dari huruf, kata, dan imajinasi. Dan sore itu, aku berdoa dalam diam: semoga kelak Iliana tumbuh menjadi generasi yang cerdas, berbudaya, dan menyalakan literasi, seperti cita-cita festival ini.