Daun


Senja turun perlahan, langit terbelah antara jingga yang memudar dan biru yang diselimuti awan. Aku berdiri di tepi jalan, menatap lampu merah yang menyala seperti tanda jeda bagi manusia yang selalu terburu-buru. Di hadapanku, deretan tanaman tumbuh di median jalan, sederhana tapi teguh, seolah menjadi saksi bisu atas perputaran ribuan kisah di sekelilingnya.

Tanaman itu tidak mengenal lalu lintas, tidak mengenal konsep “berhenti” atau “jalan”. Mereka hanya patuh pada hukum alam, menyerap cahaya, menghirup udara, dan diam-diam menukar karbon menjadi oksigen. Dalam keheningan mereka, tersimpan sebuah kebijaksanaan: kehidupan bisa berlangsung tanpa hiruk pikuk, tanpa ambisi menaklukkan, hanya dengan bertahan dan memberi.

Aku melihat kehidupan lain menunjukkan cara berbeda untuk bertahan. Tanaman-tanaman ini tidak menulis sejarah, tidak mendirikan peradaban, namun tanpa mereka barangkali napas kita takkan pernah sempat merangkai satu pun cerita. Mereka hidup tanpa ingin dikenang, tapi justru karena itu mereka layak diingat.

Di tengah kabel-kabel kusut dan suara klakson, ada hijau yang setia, sederhana, tapi penuh makna. Aku merasa, dalam diam tanaman itu, aku sedang membaca sebuah kitab alam: pelajaran bahwa hidup bukan semata berlari, melainkan juga berani untuk diam, tumbuh, dan memberi.