Aku mengayuh pedal itu lagi, jalanan memanjang lurus seperti benang hitam di atas karpet hijau sawah. Angin menyibak wajahku, tapi bukannya segar, ia membawa aroma debu, suara knalpot, dan deru mesin mobil yang menyusul tanpa peduli.
Berulang kali aku mengayuh di jalan yang sama. Jalur ini hafal setiap bunyi dengung rantai sepedaku, hafal setiap goresan ban di aspal yang retak, hafal bahkan ketika aku pura-pura menikmati perjalanan ini. Bersepeda, katanya menyehatkan, katanya membebaskan pikiran. Ah, tapi aku sudah terlalu sering menuliskan itu. Bersepeda, bersepeda, bersepeda, klise yang lelah kubawa.
Aku muak pada pengulangan yang begitu rajin mengekorku. Seperti nasib, seperti jam weker yang berbunyi setiap pagi, seperti mobil hitam di depanku yang melaju seenaknya, seakan tahu aku hanya bisa mengikutinya dengan dua roda yang rapuh.
Tapi mungkin, di antara kebosanan itu, ada sesuatu yang anehnya menenangkan. Bahwa meski jalanan sama, sawah sama, angin sama, aku tetap mengayuh. Ada yang menolak menyerah dalam gerakan monoton ini. Ada bagian diriku yang entah mengapa, percaya bahwa dalam kebosanan pun, hidup masih bergerak.
