Aku berjalan di trotoar itu, sambil mendengar deru motor dan klakson yang lebih mirip paduan suara sumbang kota kecil. Pohon di pinggir jalan berdiri dengan angkuh, seakan menertawakan keletihan orang-orang yang lalu lalang di bawahnya. Lampu jalan menyala, tidak dengan gagah, tapi dengan ragu-ragu, seperti lampu tidur yang enggan bangun.
Orang-orang sibuk, tergesa-gesa menuju entah ke mana, sementara aku… aku hanya berjalan. Ada langit yang sedang berubah warna, katanya itu indah, katanya itu momen yang harus diabadikan, ah, tapi aku sudah terlalu sering menulis tentang itu. Senja, senja, senja. Rasanya aku ingin melempar kata itu jauh-jauh, biar pecah seperti kaca di aspal hitam.
Yang kurasakan justru bukan romantika jingga di ufuk barat, melainkan kebosanan yang menempel di kulit seperti debu jalanan. Aku bosan pada klise yang kerap dipuja, bosan pada keromantisan yang dipaksakan. Mungkin aku hanya ingin menulis tentang jalan berlubang, kabel listrik yang semrawut, atau mobil merah yang parkir seenaknya di trotoar, hal-hal kecil yang nyata, yang tak pernah diminta untuk dipuji.
Di momen itu aku sadar, barangkali kebahagiaan bukan terletak pada keindahan yang berulang-ulang dielukan orang, melainkan pada keberanian untuk mengakui: hari ini biasa saja.